Monday, 23 December 2024

Memperingati 63 tahun Deklarasi Kemerdekaan West Papua

peringatan 63 tahun Deklarasi Kemerdekaan West Papua

Bila ada sudut-sudut dunia yang tetap damai, tetapi diiringi perdamaian yang didasarkan pada ketidakadilan—damainya sebuah rawa yang penuh dengan berbagai hal busuk yang pelan-pelan hancur di dasarnya—kita boleh yakin bahwa situasi damai itu palsu.” (Don Helder Camara)“Itulah kejahatan yang sebenarnya. Perbuatan yang jahat dan menjijikan. Untuk mencabut seorang manusia dari udara dan cahaya, untuk membungkamnya, mengikat lengan dan kakinya, mengambil semua kegembiraan hidupnya dan tidak menyisakan apapun kecuali penderitaan, itu adalah tindakan kejahatan yang sempurna.” (Victor Serge)
Pada hari Minggu tanggal 1 December 2024 Aliansi Mahasiswa Papua dan From rakyat Indonesia untuk west Papua fotoh bersama depan Sekret Aspura Bali, sebelum berpisah  tanah Juang masing-masing,!

 

 

“Bila ada sudut-sudut dunia yang tetap damai, tetapi diiringi perdamaian yang didasarkan pada ketidakadilan—damainya sebuah rawa yang penuh dengan berbagai hal busuk yang pelan-pelan hancur di dasarnya—kita boleh yakin bahwa situasi damai itu palsu.” (Don Helder Camara)

“Itulah kejahatan yang sebenarnya. Perbuatan yang jahat dan menjijikan. Untuk mencabut seorang manusia dari udara dan cahaya, untuk membungkamnya, mengikat lengan dan kakinya, mengambil semua kegembiraan hidupnya dan tidak menyisakan apapun kecuali penderitaan, itu adalah tindakan kejahatan yang sempurna.” (Victor Serge)

Tanggal 1 Desember 2024, peringatan 63 tahun Deklarasi Kemerdekaan West Papua menggelegak di mana-mana. Di gunung dan rimba raya Cendrawasih, para prajurit pembebasan nasional mengibarkan Bintang Kejora dan membacakan pidato-pidato yang menggugah. Di kota-kota perdagangan bangsa-tertindas dan kota-kota industri bangsa-penindas, aksi-aksi protes dan solidaritas memancang begitu rupa. Di sini angkatan-angkatan muda Papua dan Indonesia mengayunkan gerakan bersama. Jayapura, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Ambon, Denpasar, Kendari, Jember, dan Ternate—semuanya bergemuruh. Diskusi, mimbar bebas, dan long march berlangsung sepanjang hari. Tidak peduli dingin hujan maupun panas mentari. Semangat yang menyala terpatri dalam gerak orang-orang muda. Kepalan tangan yang meninju ke langit dan hentakan kaki yang menghujam ke bumi mengguncang ketentraman penguasa. Selebaran dan suara-suara penderitaan hati bangsa-tertindas mengudara. Mengetok pintu-pintu rumah. Bertebaran di gang-gang dan jalan raya. Menjamah riuh pengendara. Merayapi setiap mata dan telinga. Mengabarkan tentang gigitan dan lilitan penindasan nasional terhadap bangsa West Papua. Begitu berbisa dan menyiksa. Menumpahkan darah dan nanah hampir seabad lamanya. Kelas penguasa telah menyulap padang hijau dan pepohonan rindang menjadi lautan pusara yang mengaharu-biru, dengan segenap penghuninya yang dijarah, diperkosa, dibrondongi peluru atau disembelih di altar modal dan kuasa. Dalam Dokumen Petisi Rakyat Papua (2022) memberitahu: sepanjang 1962-2004, paling sedikit 500.000 jiwa Orang Asli Papua (OAP) dibunuh dalam rangkaian operasi militer berskala raksasa dan ribuan lainnya dipenjara hingga sakit dan tewas sebagai tahanan politik. Penjajahan Indonesia dibuka melalui perintah Operasi Trikora pada 19 Desember 1961 di alun-alun Kota Yogyakarta. Pengerahan tentara reguler tidaklah sekadar merobek-robek Deklarasi Kemerdekaan 1 Desember 1961, karena lebih jauh mengawal perampokan sumber daya yang berlimpah-ruah dan mencabik-cabik orang Papua secara keji dan hina.

Dominasi imperialisme dan kebusukan borjuasi nasional telah menyeret negeri-negeri yang ada dalam ironi sejarah yang disesaki bau bangkai. Penjajahan ke tanah Papua tidaklah sesederhana mempertahankan NKRI, karena secara mendalam didorong oleh perkembangan kapitalisme. Lewat “Imperialisme; Tahap Tertinggi Perkembangan Kapitalisme”, Lenin berkata: ‘kapitalisme semakin berkembang, maka semakin kuatlah terasa kekurangan akan bahan baku, semakin menghebatlah perlombaan dan pengejaran untuk sumber-sumber bahan baku di seluruh dunia, semakin nekadlah pertarungan untuk penguasaan tanah-tanah jajahan’. Dalam kondisi inilah pasar-pasar nasional dilebur menjadi pasar dunia dan kekayaan-kekayaan setiap bangsa digasak untuk aktivitas produksi dan pertukaran di skala dunia. Dengan bergelayut di atas kepentingan mempertahankan kepemilikan pribadi dan memupuk laba, kelas borjuis merevolusionerkan produksi melalui pengembangan-pengembangan teknik. Didorong oleh meluasnya pemakaian mesin, pelayaran kapal, penerbangan pesawat, jalan dan jembatan, rel kereta api, penyaluran irigasi, pembukaan benua sebagai tanah garapan, penggunaan ilmu kimia pada industri, dan aneka penemuan sains modern—kehidupan umat manusia termodernisasi: corak-corak produksi tradisional dihancurkan dan kerja-upahan diluncurkan sebagai monumen perbudakan modern. Walau pada awalnya perkembangan ekonomi dan sosial meningkat drastis, tetapi gerak modal yang bersifat antagonis menyeret pada jalan buntu historis; di mana ekspropriasi borjuis terhadap nilai-lebih yang bersumber dari kemampuan kerja proletar sudah tidak sanggup meneteskan kemajuan bagi perkembangan material umat manusia. Inilah yang menjadi pemicu utama ledakan pengangguran, kemiskinan, kesenjangan, kelaparan, penyakit mental, degradasi moral, pelacuran, kejahatan, perang dan kerusakan lingkungan.

Segala faktor yang sebelumnya membawa kemajuan yang gemilang, kini telah menyeret menuju kemunduran yang mengerikan; di mana ketika kapitalisme terhuyung-huyung dari satu krisis ke krisis lain, kontradiksi lama muncul kembali dengan lebih dalam. Di seluruh dunia—ketidakstabilan, polarisasi, dan pergeseran dan belokan politik yang tajam sedang berlangsung. Sebagian dari proses ini mengangkat kembali masalah-masalah kebangsaan. Di sisi bangsa-bangsa minoritas yang tersiksa atas penindasan nasional yang begitu rupa, rakyat pekerja menjadi sasaran utama dari angkara-murka kelas yang bermilik dan berkuasa. Dan mengapa harus membahas persoalan penindasan bangsa dengan perjuangan kelas pekerja secara bersamaan? Bagi kaum Marxis, prinsip yang tidak mungkin dilupakan dalam setiap pembahasannya adalah menyangkut penyatuan kelas pekerja di seluruh negeri untuk berjuang bersama secara terpadu dalam menggulingkan kapitalisme. Lenin pernah berkata: ‘persoalan kebangsaan merupakan elemen kunci bagi keberhasilan revolusi proletariat di zaman imperialisme’.

Di setiap cangkang negara-bangsa hari ini, kaum buruh dikerangkeng dalam aktivitas produksi yang buta dan tidak-manusiawi. Laki-laki dan perempuan diseret mengikuti deru mesin-mesin yang tiada berhenti. Tulang dan otot-otot diikat sepanjang  siang dan malam, dengan beban kerja yang semakin berat dan kecelakaan kerja yang senantiasa mengintai. Selama setengah abad terakhir beraneka metode telah digencarkan untuk meningkatkan kapasitas produksi: rasionalisasi, perjanjian produktivitas, perpanjangan hari kerja, teknik produksi ramping, studi waktu dan gerakan, penggunaan mesin penghemat tenaga kerja, dan sebagainya. Semuanya begitu menebarkan tekanan yang luar biasa melilit dan berbisa. Rayuan imbalan dan karir, ancaman skorsing dan pemecatan, yang disertai caci-maki dan hinaan menjadi perlakuan rutin untuk menegakkan disiplin barak kepada pekerja. Setiap detik permadani-permadani yang indah dirajut oleh tangan-tangan ringkih dari orang-orang lapar yang berlumuran keringat dan debu. Mereka merangkak di lantai, gang dan lorong-lorong industri untuk mengais roti demi mempertahankan kehidupannya dan keluarganya. Namun hukum umum kapitalisme tidaklah memproduksi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga-rumah tangga pekerja, melainkan menumpuk keuntungan di mahligai-mahligai borjuasi. Kaum kapitalis mengatakan membeli tenaga kerja yang terekspresikan dalam fungsi-fungsi kerja, bukan daya kerja—seluruh kemampuan mental dan fisik—yang hidup dan perlu dirawat. Mereka berkelakar tentang pengupahan yang layak dan menaikan nominalnya setiap tahun. Padahal upah hanyalah remah-remah yang dihamburkan sekadar untuk pertahanan hidup minimum: mengganjal perut-perut kosong dan menahan terpaan panas-dingin yang menyengat tubuh-tubuh kerempeng. Sebanyak apapun upah yang dituangkan kepada kelas pekerja, lebih banyak lagi upah yang tak-terbayarkan oleh kelas borjuasi. Motor penggerak dari sistem busuk dan terlaknat ini adalah penghisapan nilai-lebih. Eksploitasi digencarkan sampai tetes-tetes terakhir keringat proletar. Atasnya upah yang sudah terlampau murah sekalipun gampang sekali dipotong, izin sakit maupun cuti melahirkan diperumit dan ditolak, jam istrahat bahkan libur disita dan diulur-ulur, hingga pemecatan kerap dipancang sepihak, serta serikat-serikat buruh diberangus dan gerombolan pemimpin reformisnya disuap untuk tutup-mulut.

Persaingan, monopoli, anarki produksi, dan krisis over-produksi selalu menjadi ciri umum kapitalisme. Namun krisis-demi-krisis yang terjadi semakin mendorong kapitalisme berpartisipasi dalam pasar dunia dengan menggencarkan perdagangan dan investasi kolonial. Begitulah negeri-negeri Dunia Ketiga diseret masuk dalam pusaran eksploitasi dan opresi paling brutal. Sampai sekarang Asia, Afrika, dan Amerika Latin didekatinya sebagai wilayah-wilayah koloni dan semi-koloni. Dan West Papua menjadi salah satu mata-rantai dari rantai eksploitasi dan opresi yang bergemuruh itu. Atas nama proyek-proyek pembangunan dan investasi semua negeri yang terbelakang dijadikan lumbung pengerukan sumber daya alam dan tenaga kerja murah. Cara-cara yang dipakainya amat biadab: perang, penaklukan, pendudukan, maupun perbudakan terhadap penduduk setempat. Dalam keadaan inilah perkembangan kapitalisme di Dunia Ketiga berlangsung unik: menjangkarnya kapital di negeri-negeri terbelakang diekspor oleh negara-negara kapitalis maju—Amerika Serikat, Uni Eropa, Cina dan sebagainya—yang tidak sekadar mengikat borjuis nasional dengan ketergantungan pada modal asing, tapi juga mempertahankan sisa-sisa feodal, menciptakan situasi koloni maupun semi-koloni, dan menghambat penuntasan revolusi demokratik. Ketidakberimbangan perkembangan kapitalisme antara negeri-negeri kapitalis-maju dan kapitalis-terbelakang telah membelenggu Dunia Ketiga dengan onggokan persoalan penindasan nasional. Di zaman imperialisme, kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kapitalis itu semakin brutal. Bangsa-bangsa dari seluruh negeri—bahkan yang paling tertinggal dan biadab sekalipun—dimajukan dan diberadabkan dengan berparameterkan kebudayaan borjuis. Dengan terus menyosialisasi proses produksi dan mempertahankan penguasaan alat-alat produksi secara pribadi, kelas borjuis menggencarkan penaklukan Timur kepada Barat; pinggir kepada pusat; desa kepada kota, yang pada gilirannya membuncahkan aneka kontradiksi lainnya: dorongan pemodal memaksimalkan keuntungan versus kecenderungan penurunan tingkat keuntungan, kecenderungan ekspansi produksi tak-terbatas versus ketidakmampuan konsumsi individu dan sosial dari buruh, organisasi produksi yang terencana versus sifat anarkistik produksi kapitalis, internasionalisasi produksi versus pembagian dunia sebagai negara-bangsa terpisah-pisah, dan sebagainya.

Di zaman imperialisme, semua negeri telah tunduk di bawah monopoli raksasa yang terkait erat dengan kapital-finansial dan mendominasi kehidupan masyarakat secara membabi-buta. Setiap negeri besar berusaha melumpuhkan negeri-negeri kecil untuk kepentingan itu. Dan didorong oleh perkembangan inilah perebutan tanah air Papua berlangsung dramatis: dahulu Indonesia bertarung dengan Belanda sampai menang, lalu menggatikan posisinya sebagai pelaku penjajahan sampai sekarang. Dalam penjelasan mengenai “Dialektika Kebebasan”, Marx dan Engels menyampaikan: ‘tidak ada negara-bangsa yang merdeka dengan menindas bangsa lain; suatu bangsa yang menjajah bangsa lain membuat rantai bagi dirinya sendiri, karena militer yang menjajah bangsa lain juga akan menindas kelas pekerja di negerinya’. TNI-Polri yang kemarin atau hari ini dilempar ke Papua, cepat atau lambat, akan ditarik kembali untuk menghadapi setiap gejolak kebangkitan massa di negeri ini. Berhadapan dengan mereka setiap orang mungkin bisa mengkritik dan memerotes, tapi takkan pernah mendapat jaminan keselamatan setelah suaranya dilepas. Buruh yang menuntut kenaikan upah atau menentang PHK sepihak gampang dibunuh; petani yang menolak perampasan tanah dikriminalisasi; nelayan dipenjara lantaran melawan pencemaran lingkungan; masyarakat yang menjaga kelangsungan hutan-hutan adatnya diteror dan diintimidasi; kaum miskin kota diperangi saat mempertahankan pemukiman dari penggusuran; perempuan dituduh melakukan kejahatan padahal membela dirinya dari upaya pemerkosaan; wartawan dibui untuk melindungi nama baik para pejabat tambun; mahasiswa dan pelajar ditangkap, ditahan, dan kenai DO atas alasan mengganggu keteriban dan keamanan. Dalam kepungan kekerasan negara borjuis inilah semua pidato tentang kedamaian cumalah omong kosong belaka. Hidup yang damai itu hanyalah sejumput kemunafikan apabila kekerasan reaksioner, diskriminasi dan ketidakadilan kelas terus meraja.

Pada 2024, jumlah TNI-Polri sudah sangat berlimpah: melebihi 1,5 juta personel—tentara (1,05 juta) dan polisi (579 ribu). Institusi-institusi ini bukan sekadar didirikan untuk membungkam, menyiksa, dan membunuh massa rakyat dan pekerja tapi juga berdiri sebagai parasit dalam masyakarat ini. Setiap tahunnya triliun rupiah dihabiskan untuk keberadaan beban mati ini. Pada 2015-2022 saja, penganggaran untuk Polri didongkrak dari 62 triliun menjadi 111 triliun rupiah. Di sisinya, penganggaran TNI tidak mau kalah. Tahun 2024, 139,27 triliun rupiah telah disiapkan untuk kawanan serdadu. Bersama polisi, tentara menjadi anjing penjaga yang bertugas melindungi kepentingan borjuasi. Dari Laporan Komnas HAM (2021), diberitahukan bahwa puluhan ribu ekor TNI-Polri telah dikerahkan untuk mengawal beragam proyek pembangunan yang di atasnya mengukir 2.841 kasus pelanggaran HAM: 1.025 kasus berkait dengan ledakan konflik agraria yang menghilangkan hak atas kesejahteraan; 887 kasus menggores hak atas keadilan; dan 179 kasus menghilangkan hak atas rasa aman. Dan di bawah langit Cendrawasih, para petinggi badan orang-orang bersenjata menyulap medan peperangan sebagai ajang bisnis yang menggiurkan. Dalam “La Empresa Guerra; Bisnis Perang dan Kapitalisme Global”, George Aditjondro membaginya menjadi tiga jenis usaha: (1) bisnis institusional (legal): berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi yang didirikan oleh instansi TNI-Polri; (2) bisnis non-institusional (ilegal): usaha-usaha milik Purnawirawan ABRI dan keluarganya yang telah berkembang menjadi bisnis-bisnis yang kuat dan berjaya; (3) bisnis kriminal (kelabu): kegiatan memupuk laba dengan cakupan yang luas—mulai dari perusahaan-perusahaan raksasa yang ingin dilindungi dari gangguan kelompok bersenjata api maupun bersenjata tajam, dan memiliki massa yang cukup banyak untuk melakukan intimidasi, sampai dengan penjualan senjata ilegal, perdagangan narkoba [dan minuman keras], seks [dan perjudian], sampai dengan berdagang flora dan fauna langka.

Polisi dan tentara reguler, hukum dan peradilan, koran dan alat-alat publisitas lain, bahkan sekolah dan rumah-rumah ibadah sekalipun—semuanya dibingkai sebagai pelindung dan pelayan kepentingan gerombolan perampok: kelas borjuis. Di Yogyakarta, kami menghadapi perlakuan culas dan represif itu hari ini. Sejak pagi, mahasiswa-mahasiswa Papua dan elemen-elemen Solidaritas berkumpul di Asrama Kamasan Papua Yogyakarta. Semuanya hendak memperingati 53 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Papua dengan melancarkan long march menuju Nol KM. Sebuah pernyataan politik yang berisi penolakan terhadap proyek strategis nasional, mobilisasi militer, dan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua telah siap dibacakan di titik tujuan. Namun tidak sampai seperdelapan perjalanan, badan orang-orang bersenjata secara beringas memblokir jalan raya. Dari pagi sampai malam, massa aksi dihadang dan dikepung di Jalan Kusumanegara. Di setiap persimpangan dan lampu-lampu lalu lintas aparat memasang air muka yang seram. Mereka menutup jalanan dengan congkak. Mereka menyampaikan tanda bahaya kepada setiap pejalan kaki, pengendara sepeda motor, dan warga-warga di sekitar. Congor mereka berkomat-kamit menyeburkan tudingan kalau Aksi Peringatan 1 Desember didalangi oleh teroris dan separatis. Di Nol KM bahkan ormas reaksioner dimandatkan untuk merebut tempat yang menjadi titik tujuan angkatan muda Papua dan Solidaritas. Bersekutu dengan santri-santri naïf yang terprovokasi atas skandal penusukan santri oleh pemabuk dari ‘Timur’, mereka melayangkan aksi-tandingan yang tuntutan utamanya adalah tentang penegakkan ketertiban dan keamanan. Bocah-bocah polos itu tidak mengerti kalau mereka sedang diseret dalam intrik yang luar biasa kejam. Mereka tidak pernah diberitahu kalau aparat bersenjatalah yang sesungguhnya menebarkan kekacauan dan ketidakamanan. Di Papua, bahkan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, para petinggi kepolisian dan militer terlibat dalam serangkaian bisnis gelap dan terang kapitalisme. Mereka membuka jasa tukang pukul berlisensi di setiap pabrik, gudang, dan tambang bagi bos-bos yang bersedia membayar. Mereka juga menyediakan layanan pengamanan terselubung untuk bisnis-bisnis miras, obat-obatan terlarang, tempat-tempat perjudian dan hiburan yang berlindir. Tiap-tiap kejahatan dan ketidakamanan adalah lahan basah bagi mereka. Jika tidak ada, mereka dapat begitu mudah menciptakannya. Uang, pangkat, dan jabatan mereka peroleh dengan menggencarkan kekerasan dan dusta. Dan media-media borjuis mempopulerkan mereka sebagai penyeru kedamaian dan pembela kebenaran. Kebohongan inilah yang cenderung dilukiskan seabrek surat kabar dan televisi ketika memberitakan kericuhan massa aksi dan polisi di Jalan Kusumanegara.

Corong-corong kebudayaan dan pemilik properti menyanjung aparat yang berbaris memberangus mahasiswa Papua dan elemen Solidaritas. Gerombolan polisi dan intelijen, dengan ahli-ahli hukum dan pendidikan borjuis, berusaha mematahkan barikade dengan tidak melihat angkatan muda sebagai rakyat, mahasiswa, buruh; melainkan pemberontak, pengacau, separatis, teroris, sampah masyarakat. Dalam melumpuhkan barikade, aparat kepolisian tidak berbaris lurus menyerang ke depan dan meninggalkan pertahanannya di belakang tapi massa aksi melalui gang, halaman, dan rumah-rumah penduduk. Inilah mengapa long march dan orasi-orasi yang sebelumnya disimak dan disenangi warga mendadak dijauhi dengan rasa cemas. Dan atas dalih aturan serta perintah atasan, ratusan polisi bersenjata lengkap sekelebat memukul-mundur, sampai meringkus satu demonstran untuk dikambing-hitamkan sebagai provokator. Semua kondisi di sekitar massa aksi memburuk. Seluruh akses ke Jalan Kusumanegara tidak saja telah tertutup rapat dengan sinyal handphone yang terputus; tetapi juga dengan bentuk jalan raya yang panjang, luas dan lebar ini akan memberikan efek penuh bagi penggunaan peluru karet, gas air mata, Water Canon dan mobil Dalmas. Pada akhirnya Asrama Kamasan menjadi satu-satunya benteng kembali untuk menyelamatkan barikade yang telah hancur. Semua yang tersisa harus dirawat dengan pendidikan politik yang lebih baik lagi. Terutama dalam menghadapi persoalan kebangsaan secara memadai. Kita memiliki kesempatan untuk mempelajari lagi dan lagi pemikiran Lenin mengenai hubungan antara perjuangan kelas dan bangsa.

Posisi Leninis dalam Persoalan Kebangsaan

Posisi Leninis berkait persoalan kebangsaan mengalir dari prinsip internasionalisme proletariat, yang melayani kepentingan kelas proletar internasional untuk menghapuskan kepemilikan pribadi dan batas-batas sempit negara-bangsa, dengan memperjuangkan revolusi dunia; di mana tugas historis ini mengharuskan kaum buruh dan muda dari setiap kebangsaan yang ada untuk bersatu secara politik dan organisasional di bawah panji Marxisme dalam pembangunan Bolshevisme dan Komunis Internasional. Posisi Leninis sangat kontras dengan posisi Stalinis, yang dalam persoalan kebangsaan mengusung program hak bangsa menentukan nasib sendiri dengan menekankan pada pembentukan front-front yang longgar dan tidak berdiri di atas garis persatuan yang jelas. Sementara perlawanan terhadap segala bentuk penindasan nasional, rasisme dan diskriminasi kebangsaan minoritas sangatlah tidak mungkin tanpa mempersatukan bangsa tertindas dan bangsa penindas dalam perjuangan revolusioner bersama untuk transformasi masyarakat secara mendasar. Ini merupakan persatuan menyeluruh, sukarela, dan sadar di antara kaum buruh dan muda dari semua kebangsaan berdasarkan garis kelas yang akan memotong semua perbedaan-perbedaan nasional, bahasa, agama, ras, gender, orientasi seksual, dan warna kulit. Di bawah Kepemimpinan Lenin, Partai Bolshevik dan Komintern menjadi model penyatuan strategis dari berbagai bangsa dalam organisasi politik revolusioner bersama; di mana kaum terhisap dan tertindas Rusia, Ukraina, Latvia, Lituanis, Armenia, bahkan Yahudi—semuanya bersatu dan bekerja sama secara dalam organisasi-organisasi Bolshevik. Jadi, persatuan yang mengalir dari posisi Leninis untuk mengatasi persoalan kebangsaan bukanlah dalam bentuk persatuan-persatuan taktis, yang luas dan tidak-ketat. Melainkan persatuan dalam organisasi-organisasi massa dan pelopor yang tersentral dan kuat.

Mengabaikan penyatuan politik dan organisasional ini berarti membuka jalan untuk kaum buruh dan muda berkebangsaan tertindas untuk membangun organisasi yang terpisah dengan kaum buruh dan muda berkebangsaan penindas. Pembangunan organisasi macam ini secara tak-terelakkan akan menguatkan prasangka dan sentimen nasionalisme di antara bangsa-bangsa, yang secara dialektis, melemahkan perjuangan kelas proletariat internasional. Secara filosofis, posisi Leninis terkait masalah kebangsaan berdiri di atas garis kelas yang ‘materialis-dialektis’: dengan penolakan yang prinsipil untuk membuat konsensi sekecil apapun terhadap nasionalisme dari bangsa manapun, segala kecenderungan ‘eklektik’—untuk membentuk persatuan-persatuan politis yang luas dan longgar dengan mencampur-adukan berbagai perspektif dan program; atau segala kecenderungan ‘dualistik’—untuk membentuk organisasi-organisasi tersendiri yang membedakan secara kaku antara bangsa tertindas dan bangsa penindas—tidak dapat dibenarkan. Pada analisa terakhir, tendensi-tendensi borjuis-kecil itu justru melayani kepentingan borjuasi yang secara global berusaha merintangi dan memecahkan persatuan revolusioner di antara kaum buruh dan muda dari semua kebangsaan; di mana persatuan politis yang cenderung eklektis maupun persatuan organisasional yang cenderung dualistis sama-sama mengarah pada pengabsolutan perbedaan-perbedaan identitas; mempertahankan partikularitas dan ekslusivitas kebangsaan—yang pertama dilancarkan secara gelap-gelapan dan membingungkan, yang kedua digencarkan secara terang-terangan dan meyakinkan. Dalam “The Right of Nations to Self-Determination”, Lenin menjelaskan:

“Kaum borjuasi liberal dari semua bangsa—dan terutama borjuasi Rusia Raya—berjuang untuk privelese bangsanya ‘masing-masing’ … untuk partikularitas nasional, untuk ekslusivitas nasional, dan dengan ini, mereka menyokong kementerian dalam negeri…. Nasionalisme borjuis dan internasionalisme proletarian adalah dua slogan yang bertentangan satu sama lain, yang mewakili dua kubu kelas dalam dunia kapitalis dan mengekspresikan dua kebijakan (atau, dua cara pandang dunia) dalam masalah kebangsaan…. Kebudayaan nasional kaum borjuasi dalah sebuah ‘fakta’ (dan saya ulangi, kaum boruasi di seluruh dunia menjalin kesepakatan dengan kaum tuan-tanah dan kelerus). Nasionalisme borjuis yang agresif, yang membodohi dan memecah-belah kaum buruh supaya kaum borjuasi dapat mencocok hidung mereka—inilah fakta fundamental hari ini. Mereka yang ingin melayani [kepentingan] kelas proletariat harus menyatukan rakyat pekerja dari semua bangsa, dan dengan tegas memerangi nasionalisme borjuis, entah itu dalam negeri sendiri atau luar negeri…. Berlawanan dengan segala bentuk nasionalisme borjuis [dan borjuis-kecil], demokrasi kelas-buruh mengedepankan tuntutan persatuan tanpa-syarat dan amalgamasi penuh rakyat pekerja dari ‘semua’ kebangsaan dalam ‘semua’ organisasi kelas proletar—serikat buruh, koperasi, asosiasi konsumen, badan pendidikan, dan yang lainnya—sebagai tandingan atas percekcokan nasionalis antara berbagai partai borjuis mengenai masalah kebangsaan dan sebagainya. Hanya persatuan dan amalgamasi macam ini yang dapat menjaga demokrasi dan membela kepentinga proletariat dalam melawan kapital—yang sudah menginternasional dan semakin menginternasional—dan mendorong perkembangan umat manusia ke sebuah cara hidup yang asing dari semua privilese dan semua eksploitasi.”

Program dan slogan hak menentukan nasib sendiri pada dasarnya tidaklah dirancang untuk membela hak istimewa satu bangsa di atas bangsa lainnya—atau dengan kata lain: tidak pernah ditujukan untuk mendukung nasionalisme, separatisme, jinggoisme, atau chauvinisme dari kaum borjuis dan borjuis-kecil yang berasal dari bangsa manapun; karena itu berlawanan dengan internasionalisme dan melemahkan perjuangan kelas revolusioner dunia. Posisi Leninis dalam persoalan kebangsaan bertujuan menyatukan perjuangan nasional bangsa-bangsa tertindas dan perjuangan kelas pekerja internasional untuk kemenangan revolusi proletariat dan sosialisme dunia. Berdasarkan tujuan inilah Lenin berucap: ‘pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri tidak mengecualikan propaganda dan agitasi untuk menentang separasi atau nasionalisme borjuis’. Dalam premis ini persoalan kebangsaan ditangani secara konkret menggunakan pendekatan dialektis yang berprinsipkan pembangunan keseluruhan; yakni, dengan menerangkan dua sisi pendekatan yang membentuk sebuah posisi internasionalis yang konsisten. Pertama, pendekatan di negeri-negeri tertindas: perlu melindungi kaum buruh dan muda dari pengaruh-pengaruh nasionalisme borjuis dan borjuis-kecil. Kedua, pendekatan di negeri-negeri bangsa penindas: perlu membela hak-hak demokratis dari bangsa tertindas, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun untuk mengoperasikan kedua pendekatan itu sebagai kesatuan dialektis, Lenin mengutamakan penggunaan ‘tuntutan-negatif’: tuntutan yang berhubungan dengan penolakan terhadap segala bentuk aneksasi atau penahanan paksa satu bangsa oleh bangsa lain. Dengan menentang semua kepentingan nasional yang ada, tuntutan ini berarti sangatlah ketat dan tertutup dari nasionalisme borjuasi di negeri manapun. Sedangkan dengan meninggalkan tuntutan-negatif itu berarti mengarah pada ‘tuntutan-positif’: tuntutan yang berhubungan dengan persetujuan terhadap kepentingan nasional suatu bangsa dan karenanya sangat terbuka terhadap tendensi-tendensi nasionalis. Dan dengan tuntutan yang longgar macam ini maka borjuasi dari negeri manapun dapat memelintirnya seturut kepentingan nasionalnya. Inilah ranjau-ranjau nasionalis yang terkandung dalam setiap perjuangan-perjuangan pembebasan nasional yang ada. Tanpa pembangunan kepemimpinan revolusioner yang berpedoman pada teori yang paling maju, maka pertempuran teoretis untuk persatuan politik dan organisasional yang menyeluruh dalam melawan segala bentuk nasionalisme borjuis menjadi mustahil.

Di zaman krisis eksistensialis kapitalisme yang semakin kompleks, dengan bertambah kejinya dominasi imperialis dalam meluluhlantakan pasar-pasar nasional, masalah-masalah kebangsaan mengemuka secara eksplosif. Ini menjadikan tuntutan-tuntutan kebangsaan, yang meskipun merupakan tugas borjuis-demokratik, tidak dapat diabaikan oleh kelas proletar dan komunis; karena dengan menghindari masalah kebangsaan maka secara efektif akan menyerahkan medan perjuangan tersebut ke tangan borjuasi nasional yang sudah tidak-progresif. Di tengah penderitaan kapitalisme yang sedang sekarat ini—dengan reforma-reforma yang terus-menerus dicabut, serangan-serangan terhadap standar hidup yang meningkat drastis, hak-hak demokratis rakyat pekerja yang dipangkas habis, dan bangsa-bangsa kecil yang ditaklukkan secara brutal dalam skandal-skandal kejahatan imperialis—sangat irasional dan tidak-manusiawi untuk membiarkan proses-proses penghancuran tersebut dengan alasan menunggu revolusi sebagai jalan keluar yang paling praktis. Revolusi sosialis adalah satu-satunya solusi untuk mengakhiri krisis masyarakat kapitalis tapi perubahan mendasar itu hanya mungkin terjadi di atas perjuangan-perjuangan untuk reforma-reforma, hak-hak demokratis, dan termasuk perjuangan pembebasan nasional, yang diarahkan untuk melampaui legalitas atau batas-batas borjuis secara revolusioner. Demikianlah revolusi ini bukanlah sebuah periode dengan pertempuran tunggal, melainkan mencangkup serangkaian pertempuran mengenai beragam masalah reforma ekonomi dan demokrasi, yang dalam masyarakat kapitalis hanya bisa dimenangkan dengan mengapropriasi kepemilikan borjuasi. Dan berkait masalah kebangsaan dan setiap persoalan-persoalan demokrasi lainnya, Lenin berkata: ‘tidak ada satupun tuntutan demokratik yang tidak dapat menjadi, atau belum menjadi, di bawah kondisi-kondisi tertentu, sebuah instrumen borjuasi untuk menipu kaum buruh. Dalam teori, adalah secara fundamental keliru apabila hanya memilih satu tuntutan demokrasi politik, yaitu, hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri, dan mempertentangkannya dengan tuntutan-tuntutan demokrasi politik lainnya. Dalam praktik, proletariat akan mampu mempertahankan kemandiriannya hanya jika mensubordinasikan perjuangannya untuk semua tuntutan demokratik, termasuk tuntutan untuk sebuah republik, kepada perjuangan revolusionernya untuk menggulingkan borjuasi’. Untuk memandu perjuangan revolusioner inilah pembangunan kepemimpinan yang berpedoman pada teori yang paling maju menjadi tugas strategis, yang di tengah gemuruh penderitaan krisis-krisis kapitalisme, reformisme dan Stalinisme, signifikansi dari peran historis yang revolusioner ini semakin meningkat dan tidak dapat ditunda lagi.

Prospek Revolusi Sosialis untuk Dunia Ketiga

Kapitalisme telah mengintegrasikan tenaga produktif secara mendunia, memusatkan alat produksi di tangan ratusan perusahaan multinasional, menyosialisasikan kerja berskala raksasa, mempolarisasi struktur kelas antara pekerja-upahan dengan keluarga-keluarga super kaya, hingga meningkatkan antagonisme antara borjuis dan proletariat; di mana kontradiksi inherennya tidak sekadar meluapkan over-produksi dan persaingan antara negara-negara imperialis, tapi juga manjangkari Dunia Ketiga dengan ‘horor tanpa akhir’: memperparah kemiskinan, merebakan kriminalitas, menjalarkan rasisme, seksisme, femisida, homophobia, militerisme dan ekosida. Pembusukan sosial-ekonomi dalam masyarakat kapitalis ini menjadi syarat obyektif untuk revolusi sosialis dunia. Namun perubahan masyarakat secara mendasar tidak bisa berlangsung serentak di seluruh dunia, karena harus mengikuti hukum ‘perkembangan yang tidak merata dan terpadu’. Dalam kondisi inilah revolusi sosialis dunia mesti menemukan negara-bangsa yang menjadi mata rantai paling lemah dari imperialisme. Kini keperkasaan imperialis di negeri-negeri kapitalis maju memberitahukan kalau Amerika dan Eropa tidak mampu tampil sebagai pusat revolusi dunia. Mata rantai imperialis terlemah tak berada di sana, melainkan di negeri-negeri koloni maupun semi-koloninya.

Dunia Ketiga memiliki dua kelemahan: (1) bobot kelas pekerja yang terbatas dalam total populasi aktif dengan keberadaan daerah pedalaman yang luas dan (2) tingkat persiapan teknik, budaya, dan politik kelas pekerja yang jauh lebih rendah ketimbang negara-negara kapitalis maju. Di zaman imperialisme kelemahan-kelemahan ini dapat diubah menjadi kekuatan bagi kelas pekerja. Di zaman imperialis, negeri-negeri yang memiliki tahapan perkembangan historis yang berbeda-beda mengalami keterhubungan yang akut; di mana modal finansial, komersial, dan industri dari negeri-negeri maju menyerbu negeri-negeri terbelakang dari luar dan menghancurkan corak produksi tradisional atau bentuk ekonomi primitif yang tersisa hingga memaksa bangsa-bangsa terbelakang tunduk pada sistem perekonomian kapitalisme yang mendunia dan mengejar ketertinggalan pertumbuhan tenaga produktifnya. Disproporsi pembangunan sejarah membawa keuntungan luar biasa bagi negeri-negeri maju, yang dengan tingkatan perkembangan historis yang lebih tinggi terus mendominasi dan mengorbankan negeri-negeri terbelakang sebagai negeri koloni dan semi-koloninya. Dalam hubungan inilah negeri yang perkembangan tenaga produktifnya tertinggal didorong untuk mengejar ketertinggalannya oleh ekspor kapital yang merasuki negerinya. Sementara kelas kapitalis di negeri induk yang mengeksporkan modalnya mendapat kemanfaatan besar dengan mengeskploitasi negeri jajahannya dan menggunakannya untuk mengintensifkan kerja-upahan dan pembagian kerja terhadap proletariat di dalam negerinya. Lewat “Marxisme di Zaman Kita”, Trotsky menjelaskan bahwa eksploitasi itu secara umum termanifestasi melalui kebangkrutan demokrasi borjuis-imperialis yang mendasari dirinya pada perampasan wilayah jajahan untuk mempertajam perbudakan-upahan:

“Selain menghancurkan demokrasi di negara-negara yang sudah lama bermodal, imperialisme juga menghambat kebangkitan demokrasi di negara-negara terbelakang. Fakta bahwa di era baru ini tidak ada satupun negeri koloni atau semi-koloni yang berhasil menyelesaikan revolusi demokrasinya—terutama di bidang hubungan-hubungan agraria—sepenuhnya disebabkan oleh imperialisme, yang telah menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi dan politik. Dengan menjarah kekayaan alam negara-negara terbelakang dan dengan sengaja menghambat perkembangan industri independen mereka, para penguasa monopoli dan pemerintah mereka secara bersamaan memberikan dukungan finansial, politik, dan militer kepada kelompok pengeksploitasi pribumi yang paling reaksioner, parasit, dan semi-feodal. Barbarisme agraria yang dilestarikan secara artifisial saat ini merupakan wabah paling mengerikan dalam perekonomian dunia kontemporer. Perjuangan bangsa tertindas untuk kemerdekaan mereka, melewati tahapan-tahapan di antaranya, mengubah kebutuhan mereka menjadi perjuangan melawan imperialisme, dan oleh karenanya menyelaraskan diri dengan perjuangan proletariat di negeri-negeri induknya. Pemberontakan dan perang kolonial pada gilirannya mengguncang fondasi dunia kapitalisme lebih dari [periode-periode] sebelumnya.”

Di zaman imperialis, perjuangan pembebasan nasional di negeri terbelakang merupakan gerakan yang terhubung dengan perjuangan kelas buruh di negeri maju. Keterkaitan demikian merupakan cara keberadaan material dari tenaga-tenaga produktif di setiap negeri yang secara dialektis terhubung sebagai kesatuan organis dalam pembangunan keseluruhannya. Tersatukannya pasar-pasar nasional menjadi pasar dunia bukan saja semakin menghadapkan proletariat dengan krisis hubungan produksi kapitalis dan hubungan-hubungan borjuis lainnya, tapi juga ikut meningkatkan bobot sosial, ekonomi dan politik kelas pekerja. Keberhasilan Revolusi Oktober membuktikan kalau kekuasaan kelas pekerja tak-bergantung pada tingkat kekuatan produksi dalam negeri, tapi relasi-relasi perjuangan kelas, situasi internasional, dan sejumlah faktor subyektif—tradisi, inisiatif, dan kesiapan proletariat untuk bertempur. Dalam “Revolusi Permanen: Teori Revolusi Sosialis untuk Dunia Ketiga”, Leon Trotsky menjelaskan berikut:

“Adalah mungkin bagi kaum buruh di negeri yang ekonominya terbelakang untuk berkuasa lebih awal daripada kaum buruh di negeri maju. Pada 1871, kaum buruh mengambil-alih kekuasaan di kota borjuis-kecil Paris—benar, ini hanya bertahan 2 bulan. Tetapi di pusat-pusat kapitalis besar di Inggris dan Amerika kaum buruh tidak pernah mengambil-alih kekuasaan bahkan untuk satu jam pun. Untuk berpikir bahwa kediktatoran proletariat secara otomatis tergantung pada perkembangan teknik dan sumber daya sebuah bangsa adalah sebuah prasangka materialisme ‘ekonomi’ yang menggelikan. Cara berpikir ini bukanlah Marxisme…. Kita akan membahas pertama-tama kondisi subyektif: kesiapan kelas proletar untuk revolusi sosialis. Tentu saja, tidaklah cukup kalau tingkat teknologi sudah membuat ekonomi sosialisme lebih unggul dari sudut pandang tenaga kerja sosial. Juga, tidaklah cukup kalau diferensiasi sosial yang berdasarkan tingkat teknologi ini telah menciptakan kelas proletar yang merupakan kelas utama karena jumlah dan peran ekonominya, dan yang secara obyektif tertarik pada sosialisme. Kelas ini juga harus sadar akan kepentingan-kepentingan obyektifnya; kelas ini juga harus memahami bahwa tidak ada jalan keluar kecuali melalui sosialisme; kelas ini juga harus bersatu di dalam sebuah pasukan yang cukup kuat untuk menaklukkan kekuasaan politik di dalam perang terbuka.

 

Tulisan: Comerad Victor jenggo Kaum mudah revolusioner sosialisme Indonesia

Editor: Comerad Guevara wenekar Karunggu mahasiswa Papua 01 December 2024 Mataram sekret nenggam Po Nduga kk-lombok

#hancurkan_Imperialisme #Hapuskan kolonialisme #Lawan_Militerisme #Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi Bangsa west Papua #Free west Papua