Apa itu Marxisme? (Bagian Pertama: Materialisme Dialektis)
Karya ini adalah pengantar singkat mengenai filsafat Marxisme, yang terdiri dari tiga bagian: 1) Materialisme Dialektis; 2) Materialisme Historis; dan 3) Ekonomi Marxis.
Marxisme, atau Sosialisme Ilmiah, adalah sebutan untuk seperangkat gagasan yang pertama dirumuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895). Secara keseluruhan, gagasan-gagasan ini menyediakan dasar teoritis yang sudah lengkap dijabarkan untuk perjuangan kelas pekerja untuk mencapai bentuk masyarakat yang lebih agung – sosialisme.
Meskipun gagasan-gagasan Marxis telah dikembangkan dan diperkaya oleh pengalaman-pengalaman kelas buruh dalam sejarah, gagasan-gagasan fundamentalnya tetap berdiri teguh, menyediakan landasan yang kokoh untuk Gerakan Buruh masa kini. Sebelum, selama dan sesudah masa hidup Marx dan Engels tidak ada teori yang lebih baik, lebih terang-terangan dan lebih ilmiah yang pernah dikembangkan untuk menjelaskan pergerakan masyarakat dan peran kelas buruh dalam gerakan itu. Pengetahuan Marxisme, oleh karenanya, membekali kaum proletariat secara teoritis demi tugas bersejarah yang besar, yaitu perubahan masyarakat yang Sosialis.
Fakta inilah yang menjelaskan mengapa semua aspek Marxisme terus-menerus diserang oleh setiap pembela tatanan sosial yang ada, — dari kaum Tory hingga Fabian, dari pastor Jesuit hingga para profesor di universitas. Dari pahitnya serangan-serangan ini, hingga kenyataan bahwa mereka tetap harus terus-menerus menyerang walaupun setiap penyerang mengklaim sudah “akhirnya menghancurkan” Marxisme, kaum Gerakan Buruh dapat mendeduksi dua fakta. Pertama, bahwa para pembela kapitalisme menemukan dalam Marxisme tantangan yang paling berbahaya untuk sistem mereka, dan secara langsung mengakui kebenaran di dalamnya, meski mereka tetap saja terus-menerus berusaha “membuktikan kesalahan” Marxisme. Kedua, bukannya menghilang di bawah tumpukan serangan-serangan, “pengeksposan” palsu, dan distorsi-distorsi vulgar, teori-teori Marx dan Engels malah semakin menyebar dengan pasti, terutama di dalam lapisan-lapisan Gerakan Buruh yang aktif, seiring meningkatnya jumlah buruh, yang di bawah imbas dari krisis kapitalisme berusaha untuk menemukan arti yang sebenarnya dari kekuatan-kekuatan yang menentukan kehidupan mereka, supaya mampu secara sadar mempengaruhi dan menentukan nasib mereka sendiri.
Teori-teori Marxisme menyediakan sebuah pemahaman bagi para buruh yang berpikir – sebuah benang yang mampu menuntunnya melalui labirin kejadian-kejadian yang membingungkan, proses-proses masyarakat, ekonomi, pertentangan kelas, dan politik yang rumit. Bersenjatakan pedang ini, kaum buruh dapat memotong simpul Gordian yang mengikatnya pada halangan paling besar untuk memajukan dirinya dan kelasnya – ketidaktahuan.
Untuk menjaga simpul ini pada tempatnya, para perwakilan yang dibayar kelas penguasa berusaha untuk mendiskreditkan Marxisme di mata kelas buruh. Adalah tugas setiap buruh yang serius dalam Gerakan Buruh untuk menguasai teori-teori Marx dan Engels untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, sebagai syarat penting sebelum menguasai masyarakat bersama sesama buruh.
Namun ada rintangan-rintangan yang harus dihadapi kaum buruh untuk menguasai teori, yang jauh lebih sulit diatasi daripada tulisan-tulisan para pendeta dan profesor. Seseorang yang harus membanting tulang selama berjam-jam di pabrik, yang tidak pernah mengenyam pendidikan yang cukup dan oleh karena itu tidak terbiasa membaca, merasa sangat kesusahan dalam menyerap ide-ide yang lebih rumit, terutama pada awalnya. Namun Marx dan Engels menulis untuk buruh dan bukan untuk para pelajar dan kelas menengah yang “pintar”. “Semua hal sulit di awalnya”, apapun ilmu yang dipelajari. Marxisme adalah sebuah ilmu dan oleh karena itu menuntut banyak kepada pemula. Tetapi setiap buruh yang aktif dalam serikat-serikat atau Partai Buruh tentu tahu bahwa tidak ada hal bernilai yang bisa diraih tanpa perjuangan dan pengorbanan. Kepada para aktivis dalam Gerakan Buruh-lah pamflet ini ditujukan. Bagi para buruh aktif yang tekun, satu janji dapat dibuat: begitu usaha-usaha awal telah dilakukan untuk memahamiide-ide yang baru dan tidak familiar, teori-teori Marxis akan terlihat lugas, jelas, dan sederhana. Terlebih lagi – dan ini harus ditekankan – para buruh yang dengan usaha yang sabar mempelajari Marxisme akan menjadi teoretikus yang lebih baik dibandingkan sebagian besar mahasiswa, karena ia dapat memahami gagasan-gagasan tidak hanya secara abstrak, namun juga secara konkret, seperti yang teraplikasikan dalamhidup dan kerjanya sendiri.
Semua kelas penindas berusaha membenarkan kekuasaan mereka secara moral dengan menampilkan dirinya sebagai bentuk perkembangan sosial yang paling agung dan alami, dan secara sengaja menyembunyikan sistem eksploitasi dengan cara memalsukan dan menyelewengkan kebenaran. Kelas kapitalis masa kini, melalui kaki-tangan profesional mereka, telah dengan sengaja melahirkan sebuah filsafat dan moralitas yang baru hanya untuk membenarkan posisi mereka dalam masyarakat sebagai penguasa.
Sebaliknya, kelas buruh tidak punya kepentingan materi untuk mendistorsi kebenaran, dan menetapkan untuk dirinya sebuah tugas menelanjangi kenyataan-kenyataan dalam kapitalisme untuk mempersiapkan emansipasinya secara sadar. Jauh dari mencari jabatan spesial untuk dirinya sendiri, kelas buruh memiliki tujuan untuk menghancurkan kapitalisme dan dengannya segala perbedaan dan privilese kelas. Untuk melakukan itu pandangan kapitalisme harus ditolak, dan yang dicari adalah metode pengertian Marxis yang baru.
Metode Marxis menyediakan pandangan masyarakat dan kehidupan yang lebih kaya, penuh, dan lengkap, dan menghapus kelambu mistis dalam memahami perkembangan manusia dan sosial. Filsafat Marxis menjelaskan bahwa kekuatan pendorong sejarah bukanlah “Orang-Orang Besar” ataupun hal-hal yang supernatural, namun tumbuh dari perkembangan kekuatan-kekuatan produktif (industri, sains, teknik, dll.) itu sendiri. Adalah ekonomi, dalam analisis terakhir, yang menentukan kondisi-kondisi hidup, kebiasaan dan kesadaran umat manusia.
Setiap kali tatanan masyarakat disusun kembali – entah perbudakan, feodalisme atau kapitalisme – terjadilah perkembangan yang sangat besar dalam kekuatan-kekuatan produktif yang kemudian memberi manusia kekuasaan yang lebih besar terhadap alam. Segera suatu sistem sosial terbukti tidak dapat lagi mengembangkan kekuatan-kekuatan produksi, masyarakat akan memasuki era revolusi. Namun, dalam perubahan dari kapitalisme menuju sosialisme, prosesnya tidak terjadi secara otomatis namun memerlukan ikut campur dengan sadar dari kelas buruh untuk melaksanakan tugas bersejarah ini. Dalam jangka panjang, kegagalan untuk mengubah masyarakat akan membuka jalan menuju reaksi dan pada akhirnya perang dunia.
Kapitalisme telah sekali lagi memasuki krisis ekonomi global baru yang berujung pada pengangguran massal seperti tahun 1930an. Teori-teori palsu dari para ekonom kapitalis telah terbukti tidak mampu mencegah resesi, yang telah mendorong kelas penguasa untuk mencampakkan mazhab Keynes dan mengadopsi kembali kebijakan-kebijakan moneteris lama. Bukannya menyelamatkan kondisi, program ini malah memperdalam dan memperpanjang krisis!
Hanya Marxisme yang mampu menunjukkan kontradiksi-kontradiksi Kapitalisme yang berujung pada depresi dan slump. Kapitalisme sekarang telah benar-benar menghabiskan peran historisnya untuk mengembangkan basis-basis produksi dalam masyarakat. Terjepit di antara negara-bangsa dan kepemilikan pribadi, kekuatan-kekuatan produktif dihancurkan secara sistematis di hadapan overproduksi komoditas dan modal secara massal.
Seperti dijabarkan oleh Marx: “Dalam krisis-krisis ini pecahlah sebuah epidemik yang di era-era sebelumnya, terlihat absurd – epidemik overproduksi.” (Marx dan Engels, Manifesto Komunis)
“Tiba-tiba masyarakat mendapatkan dirinya terlempar kembali ke dalam suatu keadaan barbarisme sementara; nampaknya seakan-akan kelaparan, perang pembinasaan universal telah memusnahkan persediaan segala bahan-bahan keperluan hidup; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan; dan mengapa? Karena terlampau banyak peradaban, terlampau banyak bahan-bahan keperluan hidup, terlampau banyak industri, terlampau banyak perdagangan. Tenaga-tenaga produktif yang tersedia bagi masyarakat tidak lagi dapat melanjutkan perkembangan syarat-syarat properti borjuis; sebaliknya, mereka telah menjadi terlampau kuat bagi syarat-syarat ini, yang membelenggu mereka, dan segera setelah mereka mengatasi rintangan-rintangan ini, mereka mendatangkan kekacauan ke dalam seluruh masyarakat borjuis, membahayakan keberadaan properti borjuis.” (Ibid)
Pamflet ini menghimpun untuk pertama kalinya tiga suplemen dari Buletin Studi Marxis South Wales (yang pertama diterbitkan tahun 1970an) sebagai kontribusi kecil untuk memenuhi kehausan yang semakin besar terhadap gagasan-gagasan Marxis. Kebetulan, pamflet ini juga diterbitkan pada peringatan seabad kematian Karl Marx pada 14 Maret 1883, yang bersama Engels merupakan penemu sosialisme ilmiah.
Namun pamflet ini tidak dimaksudkan untuk menyediakan penjabaran lengkap mengenai Marxisme, melainkan untuk membantu buruh dan pelajar dalam mendekati subyek ini dengan memberikan garis besar dari beberapa gagasan pokok Marxisme, termasuk daftar bacaan yang bisa digunakannya untuk melanjutkan studinya. Marx dan Engels sendiri menulis banyak pamflet singkat dan tulisan-tulisan penjelasan yang lebih pendek, yang ditujukan untuk menyebarluaskan teori mereka di antara kelas buruh, dan ini menyediakan basis untuk daftar bacaan yang diajukan.
Studi Marxisme mencakup tiga judul utama, yang berhubungan secara umum dengan filsafat, sejarah sosial dan ekonomi, atau, untuk memberikan nama yang tepat, Dialektika Materialisme, Materialisme Historis dan Teori Nilai Kerja. Ini adalah “tiga komponen Marxisme” yang terkenal, yang ditulis oleh Lenin. (Lenin, Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme)
METODE MARXISME: DIALEKTIKA MATERIALISME
Apa itu filsafat?
Dalam setiap tahap sejarah manusia, manusia telah membuat bermacam-macam gambaran akan dunia mereka dan tempat mereka di dalamnya. Mereka mengembangkan suatu Filsafat. Kepingan-kepingan yang mereka gunakan untuk menyusun gambaran ini didapatkan dari mengamati alam dan melalui membuat generalisasi dari pengalaman sehari-hari mereka.
Sejumlah orang percaya mereka tidak memerlukan filsafat atau pandangan hidup tertentu. Namun pada kenyataannya semua orang memiliki filsafat, bahkan jika tidak dikembangkan dengan sadar. Orang yang hidup berdasarkan pengetahuan umum atau “akal sehat” dan berpikir mereka menjalani hidup tanpa teori, secara praktis berpikir dengan cara yang tradisional. Marx pernah berkata bahwa gagasan yang dominan dalam masyarakat adalah gagasan kelas penguasa. Untuk menjaga dan membenarkan kuasanya, kelas kapitalis memberdayakan seluruh cara yang ada untuk mendistorsi kesadaran buruh. Sekolah, gereja, televisi, dan media cetak semua digunakan untuk melestarikan ideologi kelas penguasa dan mengindoktrinasi buruh untuk menerima sistem mereka sebagai bentuk masyarakat yang paling alami dan permanen. Dengan tiadanya filsafat sosialis yang sadar, mereka dengan tidak sadar menerima filsafat kapitalis.
Pada setiap titik dalam masyarakat kelas, kelas revolusioner yang sedang bangkit, yang bertujuan mengubah masyarakat, harus berjuang demi pandangan dunia yang baru dan harus menyerang filsafat lama yang membenarkan dan membela tatanan lama.
Idealisme dan materialisme
Sepanjang sejarah filsafat kita dapat menemukan dua kubu, sang Idealis dan sang Materialis. Gagasan umum mengenai “Idealisme” (yaitu kejujuran, ketangguhan dalam mengejar idealnya) dan “Materialisme” (yaitu egoisme yang serakah, meraup uang) tidak ada hubungannya dengan filsafat idealisme dan materialisme.
Banyak pemikir dalam sejarah adalah Idealis, contohnya Plato dan Hegel. Mazhab ini melihat alam dan sejarah sebagai cerminan dari ide atau spirit (roh). Teori bahwa manusia dan setiap hal material diciptakan oleh Roh yang ilahi adalah konsep dasar idealisme. Pandangan ini diekspresikan dalam bermacam-macam cara, namun basisnya adalah bahwa ide mengatur perkembangan dunia material. Sejarah dijelaskan sebagai sejarah pemikiran. Kelakuan manusia dilihat sebagai akibat dari pemikiran-pemikiran abstrak, dan bukan dari keperluan material mereka. Hegel melangkah lebih maju, sebagai idealis yang konsisten, dan mengubah pikiran menjadi suatu “Ide” yang mandiri, yang hadir di luar otak dan mandiri dari dunia material. (Hegel, Ilmu Logika). Dunia material hanyalah cerminan dari Ide ini. Agama adalah bagian dari filsafat idealisme.
Di sisi lain, para pemikir Materialis bersikukuh bahwa dunia material itu nyata dan bahwa alam atau benda itu adalah hal yang primer. Pikiran atau gagasan hanyalah produk dari otak. Otak, dan oleh karena itu ide, muncul pada tingkatan tertentu dalam perkembangan makhluk hidup. Pilar-pilar dasar Materialisme adalah sebagai berikut:
- Dunia material, yang kita ketahui melalui indera kita dan dijelajahi oleh ilmu sains, adalah nyata. Perkembangan dunia terjadi menurut hukum-hukum alamnya, tanpa kaitan dengan yang supernatural.
- Hanya ada satu dunia, yaitu yang material. Pikiran adalah produk dari benda (otak), tanpanya tidak akan ada gagasan-gagasan yang mandiri. Maka pikiran dan ide tidak dapat hadir sendiri tanpa benda. Gagasan-gagasan umum hanyalah cerminan dari dunia material. “Bagiku,” tulis Marx, “ide hanyalah dunia material yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan menjadi bentuk-bentuk pemikiran.” (Marx, Kata Penutup di Edisi Jerman Kedua Das Kapital) Lebih jauh, “Keberadaan sosial menentukan kesadaran”. (Marx, Kontribusi Terhadap Kritik Ekonomi Politik)
Kaum Idealis memaknai kesadaran, pikiran, sebagai suatu hal yang eksternal, dan berlawanan dengan benda, dengan alam. Pertentangan ini sesuatu yang sepenuhnya palsu dan artifisial. Ada hubungan yang erat antara hukum-hukum pemikiran dan hukum-hukum alam, karena pemikiran mengikuti dan mencerminkan alam. Pikiran tidak dapat menciptakan kategori-kategori dari dirinya sendiri, namun hanya dari dunia eksternal. Bahkan pemikiran-pemikiran yang tampak paling abstrak sebenarnya ditarik dari pengamatan dunia material.
Bahkan ilmu-ilmu yang tampak abstrak seperti matematika murni telah, dalam analisa terakhir, ditarik dari realitas material, dan tidak dibentuk dari dalam otak. Anak sekolahan menghitung jari-jarinya, yang tentu saja material, sebelum menyelesaikan soal aritmetika yang abstrak. Dengan melakukan demikian, anak itu menciptakan kembali asal-muasal dari matematika itu sendiri. Kita mendasarkan hitungan pada sistem desimal karena kita memiliki sepuluh jari. Huruf-huruf romawi pada awalnya didasarkan pada representasi jari.
Menurut Lenin, “inilah materialisme: benda yang beraksi pada organ-organ indra kita menciptakan sensasi. Sensasi bergantung pada otak, syaraf, retina, dan sebagainya, yaitu, benda itu yang primer. Sensasi, pemikiran, kesadaran adalah produk dari benda”. (Lenin, Materialisme dan Empiro-Kritisisme).
Manusia adalah bagian dari alam, yang mengembangkan ide-ide mereka dalam interaksi mereka dengan dunia. Proses-proses mental juga cukup nyata, namun itu bukan sesuatu yang absolut, di luar alam. Mereka harus dipelajari dalam batas-batas material dan sosial di mana mereka muncul. “Hantu-hantu yang terbentuk dalam otak manusia,” ujar Marx, “adalah… sebenarnya, sublimat dari proses-hidup material mereka.” (Marx, Ideologi Jerman) Setelah itu ia menyimpulkan, “moralitas, agama, metafisika, semua ideologi dan bentuk-bentuk kesadaran yang terkait, tidak lagi memiliki kemandirian apapun. Mereka tidak punya sejarah, tidak punya perkembangan, tetapi manusia, yang mengembangkan produksi material mereka dan interaksi material, mengubah eksistensi nyata mereka, pemikiran mereka, dan hasil-hasil pemikiran mereka seiring ini. Hidup tidak ditentukan oleh kesadaran, namun kesadaran ditentukan oleh hidup.” (Ibid)
Asal muasal materialisme
“Asal muasal dari semua materialisme modern,” tulis Engels, “dari abad ke-17 dan seterusnya, adalah Inggris.” (Engels, Sosialisme: Utopis dan Ilmiah) Pada waktu itu, aristokrasi feodal yang lama dan monarki tengah menghadapi tantangan dari kelas menengah yang baru saja muncul. Benteng feodalisme adalah gereja Katolik Roma, yang menyediakan pembenaran Ilahi untuk institusi-institusi monarkis dan feodal. Oleh karenanya paham-paham gereja ini harus ditentang sebelum feodalisme dapat dihancurkan. Kelas borjuasi yang sedang bangkit menantang ide-ide lama dan konsep-konsep ketuhanan yang menjadi dasar tatanan masyarakat yang lama.
“Bersamaan dengan kebangkitan kelas menengah, terjadi sebuah pembaharuan dalam ilmu-ilmu sains; astronomi, mekanika, fisika, anatomi, fisiologi, dihidupkan kembali. Dan untuk pengembangan produksi industrinya, kaum borjuasi memerlukan sains yang menelaah sifat-sifat fisik pada obyek-obyek alam dan cara-cara berlakunya kekuatan-kekuatan Alam. Hingga saat itu sains hanyalah hamba gereja, tidak boleh melewati batasan yang ditetapkan oleh iman, dan oleh karena itu sebenarnya tidak ada yang benar-benar bisa disebut sains. [Di abad ke-17, Galileo menunjukkan kebenaran teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet mengitari matahari. Para profesor di masa itu mengejek gagasan-gagasan tersebut dan menggunakan kuasa Indeks dan Inkuisisi melawan Galileo untuk memaksanya melepaskan pandangannya. RS] (Sains melawan gereja; kaum borjuasi tidak bisa hidup tanpa sains, dan karena itu, harus ikut dalam perlawanan.)” (Ibid)
Pada saat inilah Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan ide-ide revolusionernya mengenai materialisme. Menurutnya indra tidak mungkin keliru dan merupakan sumber segala pengetahuan. Semua sains didasarkan pada pengalaman, dan data-data ini lalu ditelaah oleh metode penyelidikan yang rasional: induksi, analisa, perbandingan, pengamatan dan eksperimen. Adalah Thomas Hobbes (1588-1679) yang melanjutkan dan mengembangkan materialisme Bacon menjadi sebuah sistem. Ia menyadari bahwa gagasan-gagasan dan konsep-konsep hanyalah cerminan dari dunia material, dan (sebagaimana diparafrasekan oleh Marx dan Engels) “tidak mungkin memisahkan pemikiran dari benda yang berpikir”. (Marx dan Engels, Keluarga Suci) Kemudian, pemikir Inggris John Locke (1632-1704) menyediakan bukti dari materialisme ini.
Mazhab filsafat materialisme diturunkan dari Inggris ke Perancis, yang lalu diambil dan dikembangkan lebih jauh oleh Rene Descartes (1596-1650) dan pengikut-pengikutnya. Kaum materialis Perancis ini tidak membatasi diri mereka hanya pada kritik terhadap agama saja, tetapi juga meluas hingga mencakup semua institusi dan gagasan. Mereka menantang hal-hal ini atas nama Nalar, dan memberikan amunisi kepada kaum borjuasi yang sedang berkembang dalam perjuangan mereka melawan monarki. Lahirnya Revolusi Borjuis Perancis tahun 1789-93 mengambil filsafat materialisme sebagai keyakinan mereka. Tidak seperti Revolusi Inggris di pertengahan abad ke-17, Revolusi Perancis benar-benar menghabisi tatanan feodal yang lama. Seperti yang kemudian ditunjukkan Engels: “Kita tahu hari ini bahwa kerajaan nalar tidaklah lebih dari kerajaan borjuis yang diidealisasikan.” (Engels, Anti-Dühring)
Kekurangan dari materialisme sejak Bacon dan penerus-penerusnya adalah interpretasinya terhadap Alam yang kaku dan mekanistik. Bukan kebetulan bahwa mazhab filsafat materialis Inggris berkembang di abad ke-18, ketika penemuan-penemuan Isaac Newton menjadikan “fisika mekanika” ilmu yang paling maju dan penting. Dalam kata-kata Engels sendiri: “Batasan spesifik dari materialisme ini ada pada ketidakmampuannya untuk memahami alam semesta sebagai suatu proses, sebagai benda yang mengalami perkembangan bersejarah tanpa interupsi.” (Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman)
Revolusi Perancis meninggalkan efek yang sangat membekas pada dunia, mirip Revolusi Rusia tahun 1917. Revolusi Perancis memperbaharui pemikiran dalam segala bidang, politik, filsafat, sains dan seni. Gejolak gagasan-gagasan yang muncul dari revolusi demokrasi borjuis ini membuka jalan untuk kemajuan-kemajuan dalam ilmu alam, geologi, botani, kimia dan juga ekonomi politik.
Dalam masa inilah suatu kritik dilontarkan terhadap pendekatan mekanistik para materialis. Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), membuat dobrakan pertama dalam cara-cara mekanis lama dengan penemuannya bahwa Bumi dan tata surya ada karena suatu proses, dan bukannya sudah ada sepanjang masa. Hal yang sama juga berlaku pada geografi, geologi, tanaman dan binatang.
Ide revolusioner Kant ini dikembangkan secara komprehensif oleh pemikir Jerman yang brilian lainnya, George Hegel (1770-1831). Hegel adalah seorang filsuf idealis, yang mempercayai bahwa dunia dapat dijabarkan sebagai perwujudan atau cerminan dari suatu “Pemikiran Universal” atau “Ide”, yaitu, sebuah bentuk Tuhan. (Hegel, Sains Logika)
Hegel melihat dunia bukan sebagai partisipan aktif dalam masyarakat dan sejarah manusia, namun sebagai filsuf, yang merenungkan kejadian-kejadian dari jauh. Ia memasang dirinya sebagai mistar bagi dunia, menginterpretasi sejarah menurut prasangka-prasangkanya sebagai sejarah pemikiran, dunia sebagai dunia gagasan, sebuah Dunia Ideal. Maka untuk Hegel, masalah-masalah dan kontradiksi-kontradiksi dikedepankan bukan dalam wujud-wujud nyata namun dalam wujud pikiran, dan karena itu bisa mencari penyelesaiannya dalam wujud pemikiran. Bukannya menyelesaikan kontradiksi dalam masyarakat oleh aksi manusia, oleh perjuangan kelas, mereka malah menemukan solusinya dalam kepala sang filsuf, dalam Ide Absolut!
Bagaimanapun juga, Hegel menyadari kesalahan-kesalahan dan kekurangan dari pandangan mekanistik yang lama. Ia juga menunjukkan kekurangan logika formal dan bekerja untuk menciptakan pandangan dunia baru yang dapat menjelaskan kontradiksi-kontradiksi perubahan dan gerakan. (Lihat di bawah).
Walaupun Hegel menemukan kembali dan menganalisis hukum-hukum pergerakan dan perubahan, idealismenya memutarbalikkan segalanya. Kritik dan perjuangan para Hegelian Muda, dipimpin oleh Ludwig Feuerbach, berusaha mengoreksi dan menempatkan filsafat kembali berdiri tegak. Namun bahkan Feuerbach – “setengah bagian bawahnya adalah materialis, setengah bagian atasnya idealis” (Engels, Feuerbach, Akar dari Filsafat Sosialis) – tidak mampu sepenuhnya menghapus pandangan idealis dalam Hegelianisme. Tugas ini dibebankan kepada Marx dan Engels, yang dapat menyelamatkan metode dialektis dari cangkang mistisnya. Dialektika Hegelian digabungkan dengan materialisme modern demi menciptakan pemahaman dialektika materialisme yang revolusioner.
Apa itu dialektika?
Kita telah melihat bagaimana materialisme modern adalah konsep bahwa benda itu utama dan pemikiran atau ide-ide adalah produk dari otak. Tetapi apa itu pemikiran dialektis atau dialektika?
“Dialektika tidak lain adalah ilmu hukum-hukum umum gerakan dan perkembangan alam, masyarakat dan pemikiran.” (Engels, Anti-Dühring).
Metode pemikiran dialektis sudah ada jauh sebelum Marx dan Engels mengembangkannya secara ilmiah sebagai metode untuk memahami evolusi masyarakat.
Zaman Yunani Kuno menghasilkan sejumlah pemikir dialektis yang hebat, termasuk Plato, Zenon dan Aristoteles. Sejak 500 SM, Heraclitus mengemukakan gagasan bahwa “semua hal itu ada dan tidak ada, karena semua hal ada dalam perubahan, terus-menerus berubah, terus-menerus ada dan tidak ada”. (Mengutip dari Trotsky, ABC Dialektika Materialisme) Dan lebih jauh, “semua hal mengalir, semua berubah. Tidak mungkin dua kali menginjak ke dalam aliran sungai yang satu dan sama”. (Mengutip dari Plato, Cratylus) Pernyataan ini telah mengandung pemahaman dasar dialektika bahwa semua hal di alam ada dalam keadaan berubah terus-menerus, dan bahwa perubahan ini terjadi melalui serangkaian kontradiksi.
“… pemikiran dasar yang hebat bahwa dunia tidak bisa dipahami sebagai suatu kumpulan hal-hal yang sudah ada, namun sebagai kumpulan proses-proses, di mana hal-hal yang tampaknya stabil, yang sebenarnya hanyalah bayang-bayang dalam pikiran kita, dalam konsep kita, melalui perubahan yang tak terinterupsi untuk menjadi ada dan tidak ada.”
“Bagi filsafat dialektis tidak ada yang final, mutlak, suci. Dialektika mengungkapkan karakter transisional dari semua hal dan dalam semua hal: tidak ada satu hal pun yang statis kecuali proses tak-terinterupsi untuk menjadi ada dan menjadi tidak ada, untuk naik terus dan terus dari bawah ke atas. Dan filsafat dialektis tidak lebih dari sekedar cerminan dari proses ini dalam otak yang berpikir.” (Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman)
Dialektika dan metafisika
Filsuf-filsuf Yunani Kuno dengan brilian mengantisipasi perkembangan dialektika di kemudian hari sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Namun mereka tidak sanggup membawa antisipasi ini menuju kesimpulan logisnya karena rendahnya perkembangan alat-alat produksi, dan kurangnya pengetahuan yang rinci tentang cara kerja alam semesta. Gagasan-gagasan mereka memberikan gambaran umum yang kurang lebih tepat, tetapi lebih sering dalam bentuk tebakan-tebakan yang pintar dan bukannya teori yang ditelaah secara ilmiah. Untuk membawa pemikiran manusia lebih jauh, metode-metode lama ini perlu ditinggalkan supaya bisa memahami alam semesta, dan perlu lebih fokus pada tugas-tugas lebih kecil dan lebih membosankan seperti mengumpulkan, menyisihkan, dan menamai sekumpulan fakta, menguji teori-teori dengan percobaan, mendefinisikan, dll.
Pendekatan yang empiris, eksperimental, dan faktual ini memberikan loncatan yang begitu besar pada pemikiran manusia dan sains. Penyelidikan terhadap cara kerja alam sekarang dapat dilakukan secara ilmiah, dengan menganalisis setiap masalah dan menguji setiap kesimpulan. Namun dalam prosesnya, kita kehilangan kemampuan lama untuk mendekati hal-hal dalam keterhubungannya, dan bukannya terpisah, dalam proses bergeraknya, dan bukannya statis, dengan kehidupannya, dan bukannya dalam kematiannya. Cara berpikir yang sempit dan empiris ini kemudian dinamakan pendekatan “Metafisik”. Pendekatan ini masih mendominasi filsafat dan sains kapitalisme modern. Dalam politik ini dicerminkan dalam “pragmatisme” Harold Wilson yang terkenal (“jika ini berhasil, ini pasti benar”) dan penghambaan pada “fakta”.
Tetapi fakta tidak bisa memilih dirinya sendiri. Mereka harus dipilih oleh manusia. Urutan penataan mereka, dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari mereka bergantung pada prasangka yang sudah ada dalam diri seseorang. Maka penghambaan pada “Fakta”, yang seharusnya memberi kesan ketidakberpihakan atau imparsialitas ilmiah, biasanya hanya menjadi tirai untuk menutupi prasangka sang pembicara.
Dialektika tidak hanya berkutat dengan fakta, namun juga dengan fakta-fakta dalam saling keterhubungannya, misalnya prosesnya, tidak hanya dengan gagasan-gagasan yang berdiri sendiri-sendiri, namun dengan hukum-hukum, tidak hanya dengan yang partikular, namun dengan yang umum.
Pemikiran dialektis dapat dibandingkan dengan metafisika sebagaimana film dapat dibandingkan dengan foto. Mereka tidak saling meniadakan, namun saling melengkapi. Walaupun begitu, kenyataan ditangkap dengan lebih lengkap dan lebih jujur dalam sebuah film.
Untuk keperluan sehari-hari dan perhitungan sederhana, pemikiran metafisik, atau “akal sehat”, sudah cukup. Namun ia memiliki batasan, dan di luar itu pemakaian “akal sehat” mengubah kebenaran menjadi kebalikannya. Kekurangan fundamental dari cara berpikir seperti ini adalah ketidakmampuannya untuk membayangkan gerakan dan perkembangan, dan penolakannya terhadap segala kontradiksi. Namun, gerakan dan perubahan mengimplikasikan kontradiksi.
“Bagi para ahli metafisika, hal-ihwal dan refleks mental dan gagasan-gagasan mereka terisolasi, dan harus dibahas satu per satu secara terpisah, adalah obyek-obyek penyelidikan, yang pasti, kaku, dan berlaku sepanjang masa. Ahli metafisika berpikir dalam antitesis yang tak terdamaikan… Baginya suatu hal itu ada atau tidak ada: suatu hal tidak mungkin, pada saat yang sama, menjadi dirinya sendiri dan juga menjadi sesuatu hal yang lain. Positif dan negatif secara mutlak saling meniadakan: sebab dan akibat berdiri dalam antitesis yang kaku satu sama lain.” (Engels, Sosialisme: Utopis dan Ilmiah)
Untuk keperluan sehari-hari, misalnya, kita bisa mengatakan dengan cukup yakin apakah seseorang, tanaman atau hewan itu hidup atau mati. Namun pada kenyataannya masalah itu tidak sederhana, seperti yang ditunjukkan oleh kasus-kasus hukum tentang aborsi dan “hak janin”. Pada titik manakah hidup manusia dimulai? Pada titik manakah hidup manusia berakhir? Kematian, juga bukanlah sebuah kejadian yang sederhana. Kematian juga adalah suatu proses rumit, seperti dikemukakan Heraclitus: “Adalah hal yang sama dalam diri kita yang hidup dan mati, tertidur dan terjaga, muda dan tua; setiap darinya bertukar tempat dan menjadi yang lainnya. Kita menginjak dan tidak menginjak ke dalam arus sungai yang sama: kita ada dan tidak ada.”
Trotsky, dalam tulisannya ABC Dialektika Materialisme menilai dialektika sebagai “sebuah ilmu mengenai bentuk-bentuk pemikiran kita yang tidak sebatas masalah-masalah kehidupan sehari-hari, namun berusaha untuk sampai ke pemahaman yang lebih rumit dan berkelanjutan.”
Ia membandingkan dialektika dan logika formal (metafisika) dengan matematika tinggi dan rendah. Aristoteles merupakan orang pertama yang mengembangkan hukum-hukum logika formal, dan sistem penalarannya telah diterima oleh para ahli metafisika dari masa ke masa sebagai satu-satunya metode pemikiran ilmiah yang benar.
“Logika silogisme sederhana Aristoteles telah diterima sebagai aksioma (terj: pernyataan yang diterima sebagai kebenaran yang menjadi titik awal diskusi) untuk berbagai aktivitas manusia yang praktis dan generalisasi dasar. Postulat ini dimulai dari preposisi bahwa ‘A’ = ‘A’. Tetapi pada kenyataannya ‘A’ tidak setara dengan ‘A’. Ini cukup mudah dibuktikan jika kita memandang dua huruf ini di bawah lensa – mereka cukup berbeda satu sama lain. Namun, orang bisa saja berkeberatan, bahwa pertanyaannya bukan mengenai ukuran atau bentuk dari huruf-huruf ini, karena mereka hanya simbol untuk jumlah kuantitas yang setara, semisal satu kilogram gula. Keberatan ini tidaklah relevan – dalam kenyataannya satu kilogram gula tidak akan pernah setara dengan satu kilogram gula – sebuah timbangan yang lebih akurat akan selalu menunjukkan perbedaannya. Lagi-lagi seorang bisa berkeberatan; namun satu kilogram gula itu setara dengan dirinya sendiri. Namun ini pun tidak tepat – semua hal terus berubah tanpa henti dalam ukuran, berat, warna, dll. Mereka tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang sofis bisa menanggapi bahwa satu kilogram gula itu setara dengan dirinya sendiri “di satu momen tertentu”. Terlepas dari nilai praktis “aksioma” yang sangat mencurigakan ini, ia tidak mampu menghadapi kritik teoritis. Bagaimana seharusnya kita memahami arti kata “momen” sebagai abstraksi matematis, yaitu waktu di titik nol? Tetapi semua hal eksis dalam waktu: dan eksistensi itu sendiri adalah sebuah proses perubahan yang terus-menerus: waktu adalah elemen fundamental dalam eksistensi. Maka aksioma ‘A’ setara dengan dirinya sendiri jika ia tidak berubah, atau dalam kata lain, jika ia tidak eksis.
“Sekilas, sepertinya ‘hal-hal kecil’ ini tidak berguna. Pada kenyataannya mereka memiliki signifikansi yang menentukan. Aksioma ‘A sama dengan A’ di satu sisi hadir untuk menjadi titik tolak bagi seluruh ilmu pengetahuan dan di sisi lainnya menjadi titik tolak bagi semua kesalahan dalam ilmu pengetahuan kita. Untuk menggunakan aksioma ‘A sama dengan A’ dengan impunitas hanya mungkin dalam batasan tertentu. Ketika perubahan kuantitatif dalam ‘A’ dapat diabaikan untuk tugas di tangan, barulah kita dapat berasumsi bahwa ‘A setara dengan A’. Sebagai contoh, bagaimana pembeli dan penjual memahami satu kilogram gula. Kita pun memahami suhu matahari seperti itu. Hingga akhir-akhir ini kita memahami daya beli mata uang dolar dengan cara yang sama. Namun perubahan kuantitatif yang melampaui suatu batas tertentu berubah menjadi kualitatif. Satu kilogram gula yang dicampur dengan air atau kerosin berhenti menjadi satu kilogram gula. Satu dolar yang digenggam seorang presiden berhenti menjadi satu dolar. Untuk menentukan momen yang tepat, titik kritis di mana kuantitas berubah menjadi kualitas adalah salah satu tugas paling penting dan sulit dalam semua ranah ilmu pengetahuan, termasuk sosiologi.” (Trotsky, ABC Dialektika Materialisme)
Hegel
Metode penalaran dialektika yang lama, yang telah terbengkalai sejak zaman pertengahan, dibangkitkan kembali pada awal abad ke-19 oleh seorang filsuf Jerman terkemuka, G.W.F Hegel, (1770-1831). Hegel, salah satu orang pada zamannya dengan pengetahuan seperti ensiklopedia, mengkritik secara terperinci bentuk-bentuk penalaran formal, dan menunjukkan batasan-batasan dan keberpihakannya. Hegel menciptakan analisis pertama yang benar-benar lengkap mengenai hukum-hukum dialektika, yang dijadikan dasar Marx dan Engels dalam mengembangkan teori materialisme dialektis mereka. Lenin mengkarakterisasi dialektika Hegel sebagai “doktrin perkembangan yang paling komprehensif, paling benar dan paling dalam”. Dibandingkan dengannya, segala formulasi lainnya terlihat “berat-sebelah dan miskin konten, serta mendistorsi dan memutilasi alur perkembangan alam dan masyarakat yang sesungguhnya (yang sering dalam perjalanannya melalui lompatan, bencana, dan revolusi)”. (Lenin, Karl Marx)
Pandangan Hegel mengenai hal-ihwal adalah “Suatu perkembangan yang kelihatannya mengulangi fase-fase yang telah lalu, namun mengulanginya dengan berbeda, pada dasar yang lebih tinggi (negasi atas negasi), sebuah perkembangan, yang bisa dibilang, mengikuti alur spiral, tidak dalam garis lurus; sebuah perkembangan melalui lompatan, bencana, revolusi; jeda-jeda dalam kesinambungan; perubahan kuantitas menjadi kualitas; impuls-impuls internal dalam perkembangan, yang disebabkan oleh kontradiksi dan konflik antara berbagai kekuatan dan kecenderungan yang berlaku pada suatu hal, atau dalam sebuah fenomena tertentu, atau dalam sebuah masyarakat tertentu; saling ketergantungan dan hubungan erat yang tidak dapat dihilangkan di segala sisi dari setiap fenomena (sementara sejarah terus-menerus menunjukkan sisi-sisi yang baru), suatu hubungan yang menyediakan proses pergerakan yang seragam, berhukum, dan universal, demikianlah sejumlah fitur dari dialektika sebagai doktrin perkembangan yang lebih kaya (dari biasanya).” (Ibid.)
“Filsafat Jerman yang baru ini menemukan titik puncaknya pada sistem Hegelian. Dalam sistem ini – dan di sinilah kita temui keunggulannya- untuk pertama kalinya seluruh dunia, yang alami, historis, intelektual, disajikan sebagai suatu proses, yakni dalam pergerakan, perubahan, transformasi, perkembangan yang konstan; dan muncullah usaha untuk menyusuri hubungan-hubungan internal yang membangun keseluruhan gerakan dan perkembangan ini secara berkesinambungan. Dari sudut pandang ini, sejarah umat manusia tidak lagi tampak seperti keruwetan kekejaman yang tak bermakna, sebagai hal yang patut dikutuk dari tahta filsafat dan nalar, dan yang lebih baik dilupakan secepatnya, namun sebagai proses evolusi manusia itu sendiri. Sekarang tugas kaum intelektual adalah untuk mengikuti alur proses ini setahap demi setahap melewati semua liku-likunya yang berkelok dan untuk menyusuri hukum-hukum internal yang meliputi semua fenomena-fenomena di permukaan tampak seperti kebetulan.” (Engels, Anti-Dühring)
Hegel menyatakan masalah ini dengan brilian, namun terhalang untuk menyelesaikannya karena pandangan-pandangannya yang idealis. Itu merupakan, dalam kata-kata Engels, “sebuah keguguran yang kolosal”. (Engels, Sosialisme: Utopis dan Ilmiah) Walaupun memiliki sisi mistis, filsafat Hegel telah menjelaskan hukum yang paling penting dalam dialektika: Kuantitas dan kualitas, kutub berlawanan yang saling merasuki, dan negasi dari negasi.
Kuantitas dan kualitas
“Meskipun terjadi secara bertahap, transisi dari satu bentuk gerakan ke bentuk lainnya selalu berupa lompatan, sebuah perubahan yang menentukan”. (Engels, Anti-Dühring)
Gagasan mengenai perubahan dan evolusi sekarang sudah diterima secara luas, namun bentuk-bentuk perubahan yang terjadi di alam dan masyarakat baru dijelaskan oleh dialektika Marxis. Pandangan umum mengenai evolusi sebagai perkembangan yang damai, halus dan berkesinambungan adalah pandangan yang sepihak dan salah. Dalam politik ini disebut teori perubahan sosial yang “gradualis” – fondasi teori dasar reformisme.
Hegel mengembangkan gagasan “hubungan garis pengukuran nodal – di mana pada suatu titik nodal tertentu, pengurangan atau peningkatan yang murni kuantitatif menyebabkan loncatan kualitatif: contohnya air mendidih, di mana titik didih dan titik beku adalah titik-titik nodal di mana pada tekanan udara normal, terjadi loncatan menuju bentuk agregasi yang baru, dan sebagai akibatnya kuantitas berubah menjadi kualitas.” (Engels, Anti-Dühring)
Maka, dalam contoh di atas, perubahan air dari cairan menjadi uap atau es padat tidak terjadi melalui penggumpalan atau penguapan yang bertahap, namun mendadak pada suhu tertentu (0°C, 100°C). Efek kumulatif dari berbagai perubahan kecepatan molekul pada akhirnya menghasilkan suatu perubahan bentuk – kuantitas menjadi kualitas.
Contoh-contoh lain bisa mudah didapatkan, dari seluruh cabang ilmu, dari sosiologi dan bahkan dari kehidupan sehari hari (misalnya, titik di mana menambahkan garam ke dalam sup mengubahnya dari sesuatu yang lezat menjadi sesuatu yang tidak layak dimakan).
Garis pengukuran nodal Hegel dan hukum transisi dari kuantitas menuju kualitas dan sebaliknya sangat penting tidak hanya untuk sains (di mana, seperti hukum-hukum dialektika lainnya, digunakan secara tidak sadar oleh para ilmuwan yang bukan merupakan ahli dialektika yang sadar) namun di atas segalanya dalam analisa sejarah, masyarakat, dan pergerakan kelas buruh.
Kutub berlawanan yang saling merasuki
Sebagaimana metafisika “akal sehat” berusaha menghilangkan kontradiksi dari pemikiran dan revolusi dari evolusi, ia juga berusaha membuktikan bahwa semua gagasan dan gaya yang bertolak belakang itu saling eksklusif. Namun, “setelah mengamati lebih dekat kita menemukan bahwa dua kutub dari sebuah antitesis, positif dan negatif, contohnya, adalah tak terpisahkan sebagaimana mereka saling bertolak belakang, dan meski mereka saling berlawanan mereka saling merasuki. Dan kami menemukan, dengan cara yang sama, bahwa sebab dan akibat adalah konsepsi bagi kasus-kasus secara individual, tetapi jika kita memahami kasus-kasus individual ini dan hubungan mereka secara umum dengan alam semesta sebagai keseluruhan, mereka saling menabrak, dan mereka menjadi tercampur aduk ketika kita membayangkan aksi dan interaksi universal di mana sebab dan akibat terus bertukar tempat sepanjang waktu, maka apa yang merupakan akibat di sini dan sekarang akan menjadi sebab di tempat dan waktu lain dan sebagainya”. (Engels, Anti-Dühring)
Dialektika adalah ilmu tentang saling-keterhubungan, kontras dengan metafisika yang memperlakukan fenomena sebagai sesuatu yang terpisah dan tersendiri. Dialektika berusaha mengupas benang-benang, transisi, sebab dan akibat yang jumlahnya tak terhitung itu yang menjadi perekat alam semesta. Tugas pertama dalam analisis dialektika adalah untuk melacak “Hubungan yang niscaya, hubungan obyektif dari segala aspek, gaya, dan kecenderungan dll., dari suatu fenomena tertentu”. (Lenin, Mukadimah dan Pengantar Rangkuman buku Hegel “Ilmu Penalaran”)
Dialektika mendekati suatu fenomena dari sudut pandang perkembangannya, gerakan dan kehidupannya sendiri; bagaimana ia muncul dan bagaimana ia menghilang; ia juga mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan dan sisi-sisi kontradiksi internal di dalamnya.
Gerakan adalah mode keberadaan seluruh semesta yang material. Energi dan benda tidak terpisahkan. Terlebih, gerakan bukan datang “dari luar”, namun adalah perwujudan dari tegangan-tegangan internal yang tidak terpisahkan bukan hanya dari kehidupan , namun juga dari segala bentuk benda. Perkembangan dan perubahan terjadi melalui kontradiksi internal. Maka analisis dialektik berawal dari menelanjangi kontradiksi-kontradiksi internal ini melalui penyelidikan empiris yang kemudian menghasilkan perkembangan dan perubahan.
Dari sudut pandang dialektis seluruh “kutub yang berseberangan” itu sepihak dan tidak memadai, termasuk kontradiksi antara “kebenaran dan kesalahan”. Marxisme tidak menerima keberadaan “Kebenaran Abadi”. Semua “kebenaran” dan “kesalahan” itu relatif. Yang benar di suatu waktu dan konteks menjadi salah dalam waktu dan konteks lainnya: kebenaran dan kesalahan saling melewati satu sama lain.
Maka kemajuan pengetahuan dan ilmu tidak berawal dari negasi suatu “teori yang tidak benar”. Semua teori itu relatif, yang menjelaskan satu sisi dari kenyataan. Awalnya mereka diasumsikan memiliki validitas dan aplikasi yang universal. Mereka “benar”. Namun pada suatu titik, kekurangan-kekurangan teori ini mulai disadari; mereka tidak bisa dipakai untuk segala situasi, pengecualian selalu ada. Ini harus bisa dijelaskan, dan pada suatu titik, teori-teori baru dikembangkan untuk menjelaskan pengecualian-pengecualian tersebut. Namun teori-teori baru ini tidak hanya “menegasikan” yang lama, tetapi juga menyatukannya dalam bentuk yang baru.
Kita bisa mengesampingkan kontradiksi hanya dengan menganggap obyek-obyek sebagai benda mati, yang statis dan ditempatkan secara terpisah dari satu sama lain, yaitu, secara metafisik. Namun begitu kita memahami hal-hal dalam pergerakan dan perubahan mereka, dalam kehidupan mereka, dalam saling ketergantungan dan interaksi mereka, kita menemukan serangkaian kontradiksi.
Gerakan itu sendiri adalah kontradiksi antara berada di suatu tempat dan ada di suatu tempat lain pada waktu yang sama.
Hidup, juga merupakan kontradiksi di mana “suatu makhluk pada setiap waktu adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain”. (Engels, Anti-Dühring)
Makhluk hidup terus-menerus menyerap zat dari lingkungan, mengasimilasi mereka dan di waktu yang sama bagian-bagian lain dari tubuhnya membusuk, terurai dan dibuang. Transformasi terus-menerus juga terjadi di dunia alam organik; contohnya, sebuah batu yang terurai di bawah tekanan. Oleh karena itu semua hal secara terus-menerus adalah dirinya sendiri dan adalah hal lain pada waktu yang sama. Maka, hasrat untuk menyingkirkan kontradiksi adalah hasrat untuk menyingkirkan kenyataan.
Negasi dari negasi
Engels menyebut ini sebagai “hukum perkembangan alam, sejarah dan pemikiran yang sangat umum dan oleh karena itu sangat luas dan penting; suatu hukum yang … berlaku dalam ilmu satwa dan tumbuhan, dalam geologi, dalam matematika, dalam sejarah dan filsafat”. (Ibid)
Hukum ini, yang telah diamati dalam alam jauh sebelum ia dituliskan, yang pertama kali dijabarkan dengan jelas oleh Hegel, yang memberikan serangkaian contoh-contoh konkret yang diterangkan dalam buku Anti-Dühring.
Hukum negasi dari negasi berhubungan dengan kodrat perkembangan melalui serangkaian kontradiksi, yang tampaknya menganulir atau menegasikan suatu fakta, teori, atau bentuk keberadaan yang sebelumnya, yang kemudian pada gilirannya dinegasi. Pergerakan, perubahan dan perkembangan oleh karenanya bergerak melalui serangkaian negasi-negasi yang tak terinterupsi.
Walaupun begitu, negasi dalam artian dialektik tidaklah berarti peniadaan atau penghancuran semata, di mana tahapan yang sebelumnya dilampaui dan juga dilestarikan dalam waktu yang sama. Negasi, dalam artian ini, adalah aksi yang positif dan negatif.
Hegel memberi contoh sederhana dalam bukunya, Fenomenologi Pikiran: “Kuncup menghilang ketika ia mengembang menjadi bunga, dan kita bisa saja berkata bahwa kuncup disangkal oleh kembang; dengan cara yang sama ketika buah muncul, bunga bisa dijelaskan sebagai bentuk palsu dari keberadaan tumbuhan, karena buah muncul sebagai kodrat aslinya yang menggantikan tempat bunga. Tahap-tahap ini tidak hanya terdiferensiasi, mereka saling melengkapi dan tidak dapat saling dibandingkan. Namun aktivitas alami tanpa henti mereka membuat mereka di waktu yang sama menjadi momen-momen dalam kesatuan organik, di mana mereka tidak hanya saling mengkontradiksi, tetapi salah satu dari mereka sama niscaya dengan yang lain; dan keniscayaan yang setara dari semua momen adalah bagian dari kehidupan secara keseluruhan.”
Dalam proses peniadaan-diri yang tanpa akhir ini, hilangnya bentuk-bentuk tertentu dan munculnya bentuk-bentuk yang lainnya, suatu pola muncul yang sering nampak seperti pengulangan dari bentuk-bentuk, kejadian-kejadian, dan teori-teori yang telah dilalui. Oleh karena itu, sering dikatakan “sejarah terulang kembali”. Sejarawan borjuis yang reaksioner telah mencoba untuk membuktikan bahwa sejarah hanyalah pengulangan tanpa makna, yang melaju dalam lingkaran tanpa akhir.
Dialektika, sebaliknya, menemukan dalam pengulangan-pengulangan ini suatu perkembangan dari yang rendah ke tinggi, suatu evolusi di mana bentuk-bentuk yang sama dapat mengulangi dirinya sendiri, namun dalam tingkat yang lebih tinggi, yang diperkaya oleh perkembangan-perkembangan sebelumnya.
Ini dapat dilihat paling jelas dari proses perkembangan gagasan-gagasan manusia. Hegel telah menunjukkan bagaimana filsafat berkembang melalui serangkaian kontradiksi; suatu mazhab menegasikan yang lain, namun pada saat yang sama menyerap teori-teori yang lebih tua ke dalam sistem berpikirnya sendiri.
Sama halnya dengan perkembangan sains. Para alkemis di Abad Pertengahan terdorong untuk mencari “Batu Filsuf” yang dapat mengubah logam menjadi emas. Karena rendahnya tingkat tenaga produksi dan ketiadaan teknik ilmiah, eksperimen-eksperimen awal dari “transmutasi” elemen ini pada kenyataannya hanyalah fantasi utopis. Namun, dalam proses eksperimen-eksperimen yang gagal ini, para alkemis rupanya menemukan fakta-fakta bernilai mengenai benda-benda kimia dan aparatus-aparatus eksperimen yang nantinya menjadi dasar kimia modern.
Seiring bangkitnya kapitalisme, industri dan teknik, ilmu kimia menjadi ilmu yang menolak gagasan-gagasan awal yang “gila” seperti transmutasi elemenyang kemudian telah dinegasikan. Namun, semua yang bernilai dan ilmiah dalam penemuan-penemuan alkimia telah diawetkan dalam ilmu kimia baru, yang menegaskan bahwa elemen-elemen itu tidak dapat diubah dari satu menjadi lainnya.
Abad ke-20 telah menjadi saksi mata revolusi dalam sains dan teknik seiring penemuan fisika nuklir, di mana suatu elemen rupanya bisa diubah menjadi elemen lainnya. Pada kenyataannya di zaman modern hari ini secara teori timbal dapat diubah menjadi emas, namun proses itu akan menjadi terlalu mahal untuk dijustifikasi secara ekonomi. Maka proses ini tampaknya sudah menjadi suatu lingkaran:
(a) Transmutasi elemen
(b) Non-transmutasi elemen
(c) Transmutasi elemen.
Namun pengulangan ini hanya tampak di permukaan saja. Kenyataannya, sains modern, yang bisa dibilang telah kembali pada ide-ide ahli alkimia kuno, mencakup di dalamnya seluruh penemuan-penemuan besar dari sains abad ke-18 dan abad ke-19. Satu generasi berdiri di pundak generasi sebelumnya. Ide-ide yang sepertinya telah “dibantah” atau “dinegasikan” kembali muncul, namun pada tingkat yang lebih tinggi, diperkaya oleh penemuan-penemuan dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Dialektika mendasarkan dirinya pada determinisme: gagasan bahwa tidak ada hal dalam alam, masyarakat atau pikiran yang kebetulan; yang terlihat seperti “kebetulan” muncul hanya dikarenakan suatu keniscayaan yang lebih dalam.
Sejarawan-sejarawan dangkal telah menulis bahwa Perang Dunia I “disebabkan” oleh pembunuhan seorang Putra Mahkota di Sarajevo. Bagi seorang Marxis peristiwa ini adalah kecelakaan sejarah, dalam artian kejadian ini hadir sebagai dalih, atau katalis, bagi konflik dunia yang sudah tidak bisa dielakkan karena kontradiksi-kontradiksi ekonomi, politik dan militer dari imperialisme. Jika peluru si pembunuh meleset, atau jika si Putra Mahkota tidak pernah dilahirkan, perang tersebut tetap akan meledak, atas alasan diplomatis lainnya. Hal yang memang harus terjadi akan tetap terekspresikan walau dengan bentuk “kecelakaan” lainnya.
Semua hal yang eksis, eksis karena keniscayaan. Namun, pada saat yang sama, semua hal yang eksis sama-sama telah ditakdirkan untuk tiada, untuk diubah menjadi suatu hal yang lain. Maka apa yang “niscaya” di suatu waktu dan tempat menjadi “tidak niscaya” di waktu dan tempat lainnya. Semua hal mendapatkan lawannya yang ditakdirkan untuk melampaui dan menegasikannya. Ini benar bagi tiap-tiap makhluk hidupdan juga masyarakat.
Segala bentuk masyarakat manusia eksis karena itu merupakan keharusan pada waktunya: “Tidak ada tatanan khusus yang menghilang sebelum semua tenaga produksi yang ada tempatnya, telah dikembangkan: dan relasi-relasi produksi baru yang lebih tinggi tidak pernah muncul sebelum kondisi material keberadaan mereka telah cukup matang di dalam rahim masyarakat lama. Oleh karena itu umat manusia selalu mengambil masalah hanya yang bisa ia pecahkan, karena, jika mengamati masalah ini dengan lebih dekat, kita akan selalu menemukan bahwa masalah itu sendiri muncul hanya ketika kondisi material yang diperlukan untuk solusinya telah ada atau paling tidak sedang dalam proses pembentukan”. (Marx, Sebuah Kontribusi untuk Kritik Ekonomi Politik).
Perbudakan, pada masanya, merepresentasikan suatu loncatan besar melampaui barbarisme. Perbudakan merupakan tahap yang diperlukan dalam perkembangan tenaga produksi, kebudayaan, dan masyarakat. Seperti yang dipaparkan oleh Hegel: “Bukan dari perbudakan, namun melalui perbudakan-lah manusia menjadi bebas”. (Hegel, Filsafat Sejarah)
Sama halnya kapitalisme juga merupakan suatu tahap yang niscaya dan progresif dalam masyarakat. Namun, seperti perbudakan, komunisme primitif dan feodalisme (lihat bagian 2), kapitalisme telah lama berhenti merepresentasikan sistem sosial yang diperlukan dan progresif. Ia telah reyot karena kontradiksi-kontradiksi mendalam yang ada dalamnya, dan pada waktunya akan ditumbangkan oleh naiknya sosialisme, yang direpresentasikan oleh kaum proletariat modern. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan negara-bangsa, yang merupakan fitur-fitur dasar masyarakat kapitalis, yang awalnya menandakan langkah maju ke depan, sekarang hanya merintangi perkembangan tenaga produksi dan mengancam segala kemajuan yang telah didapatkan setelah berabad-abad perkembangan manusia.
Sekarang kapitalisme adalah sistem sosial yang keropos dan terbelakang, yang harus ditumbangkan dan digantikan oleh lawannya, Sosialisme, jika kebudayaan manusia masih ingin bertahan. Marxisme itu determinis, tetapi bukan fatalis, karena penyelarasan kontradiksi dalam masyarakat hanya bisa dicapai oleh manusia yang dengan sadar berusaha menciptakan transformasi masyarakat. Perjuangan antar kelas-kelas ini bukanlah sesuatu yang sudah kodrati. Siapa yang berhasil tergantung pada banyak faktor, dan suatu kelas progresif yang sedang bangkit memiliki banyak keunggulan dibandingkan kekuatan reaksi yang tua renta. Namun pada akhirnya, hasilnya pasti tergantung pada pihak mana yang tekadnya lebih kuat, organisasinya lebih besar dan kepemimpinannya lebih bertalenta dan tangguh.
Oleh karena itu filsafat Marxis pada intinya adalah suatu panduan untuk bergerak: “Para filsuf telah menginterpretasikan dunia dengan berbagai cara; namun tujuannya, bagaimanapun juga, adalah untuk mengubahnya”. (Marx, Tesis Feuerbach)
Kemenangan sosialisme akan menandai tahapan yang baru dan jelas berbeda dalam sejarah umat manusia. Lebih akuratnya, ini akan menandai akhir dari prasejarah umat manusia, dan memulai sejarah yang sebenarnya.
Akan tetapi, di sisi lain, sosialisme menandakan kembalinya kita ke bentuk masyarakat yang paling awal – komunisme kesukuan – namun dalam level yang jauh lebih tinggi, yang berdiri di atas seluruh kontribusi luar biasa selama ribuan tahun masyarakat kelas. Ekonomi berkelimpahan akan dibuat mungkin dengan penerapan perencanaan sosialis pada industri, sains dan teknik yang telah dikukuhkan oleh kapitalisme, dalam skala global. Ini akan pada gilirannya menghapus pembagian kerja, perbedaan antara kerja pikiran dan kerja fisik, antara kota dan pedesaan, dan konflik kelas yang barbar dan tidak perlu, dan memungkinkan umat manusia untuk akhirnya dapat mengalokasikan sumber dayanya untuk menguasai alam: dalam kata-kata Engels yang terkenal, “Loncatan umat manusia dari dunia kebutuhan menuju Dunia Kebebasan”. (Marx dan Engels, Kapital Vol. III)
Bersambung ke Bagian 2: Materialisme Historis