PERNYATAAN SIKAP
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP) & Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI).
62 Tahun New York Agreement Ilegal:
Lawan Rasisme Dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!!
Nimo, Koyao, Koha, Kosa, Dormum, Foi-Moi, Tabea mufa, Nayaklak, Nare, Yepmum, Walak, Wainambe, Amakanie, Amolongo, Kinaonak, Wiwao, Wa…wa…wa…wa…
Pada 15 Agustus 1962, tepat hari ini 62 tahun lalu, Perjanjian New York resmi ditandatangani. Dalam perundingan tersebut, Amerika Serikat (AS) menempatkan diri sebagai mediator.
Amerika Serikat memainkan peranan besar dalam misi “pengembalian” Papua dari Belanda ke Indonesia melalui Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 karena Inilah pintu masuk AS ke tanah Papua untuk kepentingan ekonomi (modal) yang saat ini masih ada yaitu PT.Freeport bertahan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Perundingan tersebut dilakukan di Villa Huntland Middlleburg, Virginia, Amerika Serikat, sejak 23 Maret 1962 itu berlangsung alot dan memakan waktu.
Bahasan utamanya adalah soal Papua bagian barat (Irian Barat, Papua sekarang) yang saat itu masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda.
Mempersoalkan Irian Barat Pengakuan kedaulatan Indonesia merupakan tindak-lanjut Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar di Den Haag pada 2 November 1949. Salah satu persoalan penting yang belum disepakati dalam forum itu yakni mengenai status Papua bagian barat. Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak. Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut dengan nama Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia.
Argumentasi yang dipakai adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda. Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, KMB memutuskan bahwa masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan (Amarulla Octavian, Militer dan Globalisasi, 2012:139).
Namun hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi. Sampai akhirnya, Amerika Serikat yang justru terkesan paling bernafsu membicarakan status kepemilikan Papua bagian barat mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan. Amerika bahkan menawarkan diri sebagai penengah dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut. Indonesia dan Belanda, atas desakan Amerika, akhirnya bertemu kembali di satu meja. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunker, bertindak sebagai penengah. Inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 (Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism, 2005:30). Selama proses pengalihan, wilayah tersebut akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA. Amerika Mengincar Papua Amerika punya alasan kuat untuk mencampuri status Irian Barat.
Perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West Papua ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur sedikitnya 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang didasarkan pada praktik internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Sementara pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia. Pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi wilayah West Papua pada pemerintah Indonesia. Setelah transfer administrasi, Indonesia bertanggung jawab mempersiapkan pelaksanaan pembangunan di West Papua dan terutama penentuan nasib melalui referendum sesuai amanah kesepakatan dalam Perjanjian New York. Akan tetapi, Indonesia malah melakukan pengondisian wilayah melalui berbagai operasi militer untuk menumpas gerakan pro kemerdekaan rakyat West Papua yang menghendaki West Papua untuk mendirikan pemerintahan sendiri. Celakanya lagi, klaim terhadap wilayah West Papua oleh Indonesia dilakukan sebelum proses penentuan nasib dilaksanakan. Pada 7 April 1967, Freeport sebagai perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia masuk melalui UU PMA tahun 1967. Sementara PEPERA sebagai pengejawantahan referendum yang juga bermasalah itu baru digelar dua tahun setelahnya tahun 1969.
Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilakukan secara tidak demokratis, di mana hanya 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dibawa tekanan todongan senjata, intimidasi dan teror untuk memilih integrasi ke NKRI. Sehingga cuma 175 orang yang memberikan pendapat dari kurang lebih 800.000 jumlah orang Papua yang memiliki hak suara saat itu.
62 tahun telah berlalu sejak penandatanganan Perjanjian New York, Indonesia masih berupaya menancapkan pengaruhnya di tanah West Papua melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Otsus di Papua sudah berusia hampir 20 tahun lamanya. Namun sejak UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus diberlakukan justru tidak ada perlakuan khusus yang bisa didapatkan oleh rakyat West Papua. Apa yang tampak khusus tak lain hanyalah pengiriman pasukan militer secara besar-besaran ke tanah West Papua.
Kenyataannya Otsus tidak bisa memproteksi masyarakat adat West Papua dariperampasan tanah untuk kepentingan investasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjadi amanah dalam undang-undang Otsus tidak pernah dijalankan, tidak ada upaya untuk mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, sementara dari tahun ke tahun kasus pelanggaran HAM terus bertambah. Setelah masa pemberlakuan otsus jilid satu usai pada tahun 2021, rakyat Papua melakukan protes dengan aksi demonstrasi bahwa otsus selama 21 tahun di Papua, namun negara dan elit lokal maupun elit nasional seraca paksa menyesahkan UU nomor 2 Tahun 2024 otsus jilid 2. Dalam drfat UU Otsus baru tidak mengubah apapun, justrus negara melonggarkan pembentukan daerah/pemekaran sehingga tak lama pemekaran provinsi juga terjadi.
Di tengah badai protes penolakan otsus namun 30 Juni 2022 pemerintah juga mengesahkan UU DOB (Daerah Otonomi Baru) untuk papua tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat dan mahasiswa papua karena Otsus dan DOB adalah paketan produk kolonial yang tak lebih dari sekedar alat untuk meredam aspirasi politik rakyat Papua yang menghendaki hak penentuan nasib sendiri. Upaya-upaya untuk meredam aspirasi politik rakyat Papua tidak hanya dilakukandengan bujukan gula-gula Otsus dan DOB yang terus di paksakan. Namun Penangkapan dan pemenjaraan dengan pasal makar dan pasal pasal karet lainnya terhadap orang Papua maupun aktivis yang berbicara isu Papua menjadi incaran terus belanjut.
Selain itu, rasisme juga tumbuh subur terhadap orang Papua. Dimana 5 tahun yang lalu tepatnya pada 16 Agustus 2019 terjadi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Aksi protes terjadi dimana-mana, mulai dari luar Papua sampai Papua. Namun, beberapa orang ditangkap termasuk beberapa diantaranya 6 orang di Jakarta, 7 orang di Papua dan sebagian besar mahasiswa Papua melakukan eksodus sebagi bentuk protes. Saat ini Viktor Yeimo masih ditahan dengan tuduhan dalang daripada kericuhan di Papua saat protes di Papua, padahal aksi protes besar-besaran tersebut dilakukan secara spontan untuk protes tindakan rasisme yang tumbuh subur.
Protes rakyat Papua terhadap isu rasisme itu bermula akibat sikap segelintir rakyat Indonesia dan oknum militer yang melakukan persekusi dan perlakuan rasis dengan label “usir Monyet” terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya dan Semarang berturut-turut pada tanggal 15-17 Agustus 2019. Akibat aksi rasis tersebut mendorong seluruh rakyat Papua melakukan protes di berbagai wilayah Tanah Papua dengan memobilisasi diri hampir di 42 kabupaten dan kota di Tanah Papua, 17 Kota di Indonesia dan 5 kota di luar negeri dengan tuntutan Lawan Rasisme dan Berikan Referendum bagi Rakyat Papua. Perlawanan tersebut mendorong aparat bertindak represif dengan menangkap 7 orang yang di tuduh sebagai dalang penghasutan demonstrasi damai di Papua selama Agustus-September 2019. Akibat perlawanan yang masih terjaga membuat ke tujuh tahanan dipindahkan ke Balik Papua dengan alasan keamanan, meski secara hukum hal tersebut nonprosedural, namun sikap rasis negara terhadap rakyat Papua mendorong hal tersebut tetap dilakukan.
Sikap rasis negara tersebut juga dipertegas dengan mengirim 6500 personil Polisi Brimob dan Tentara yang bertugas pada ribuan Pos Militer dadakan hampir di seluruh kompleks di tingkat kabupaten dan kota di Tanah Papua dengan alasan mengamankan situasi yang dalam framing Indonesia sedang terjadi kekacaun skala besar di Papua. Akibat pola represif militer tersebut, terjadi penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang terhadap 72 rakyat Papua yang divonis makar, penghilangan nyawa secara paksa terhadap 35 orang Papua, 30 diantaranya di tembak mati, 284 orang terluka akibat pola represif, terjadi pengungsian skala besar (22.800 jiwa) di Nduga, peristiwa exdodus ke Papua dari 6000 pelajar dan mahasiswa Papua yang menimba ilmu di wilayah Indonesia hingga 23 kasus penyerangan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Dampak represif tersebut terjadi pada periode Agustus-Desember 2019.
Maka bulan Agustus ini menjadi bulan sejarah bagi rakyat Papua, dimana ketika rakyat Papua melakukan aksi protes atas penahan Viktor Yeimo di Jayapura, rakyat Papua selalu diperhadapkan dengan penumpahan darah. Salah satu bukti adalah Ferianus Asso, Ferianus nyawanya direnggut oleh aparat kolonial Indonesia dalam aksi ujuk rasa (PRP) di Yahukimo yang meminta agar segera bebaskan Viktor Yeimo, Tolak Otsus, Tolak DOB, Gelar Referendum. Namun hal seperti ini selalu diabaikan negara kolonial indonesia.karena pada dasarnya kehadiran Indonesia di atas Tanah papua tidak ada niat baik, kalimat “kesejateraan” pun hanya menjadi tameng untuk memperlambat perjuangan rakyat Papua untuk merdeka, berbagai rencana dan kegiatan yang dilakukan negara di atas tanah Papua semua itu hanya pencitraan untuk menjaga nama baik Indonesia di muka Dunia, salah satunya adalah kegiatan 17 Agustus.
Sebelum melakukan kegiatan eforia tersebut rakyat Papua selalu akan jadi tumbal,maka bulan agustus ini menjadi bulan malapetaka untuk orang Papua, tanggal 15 agustus 1962 menjadi dasar sejarah yang telah tercatat dalam benak rakyat Papua sebagai awal dari malapetaka tersebut bahwa,kehadiran indonesi di atas Tanah Papua tidak ada Niat baik,indonesia hadir sebagai duri dalam daging yang membuat gelisah Tanah Papua beserta seluruh rakyat Papua.
Maka, dalam peringatan 62 Tahun Perjanjian New York Agreement dan 5 Tahun Rasisme, kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) menyatakan sikap politik kami kepada Rezim Jokowi-Ma’ ruf Amin, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB bahwa:
1. Berikan Hak Menentukan Nasip Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua
2. Tutup PT. Freeport, BP, LNG Tangguh, serta semua perusahan kelapa sawit dan pertambangan lainnya diatas Tanah Papua.
3. Hentikan Rencana pengembangan Blok wabu, Blok Weyland, dan rencana pertambangan Lainnya
4. Cabut UU Cipta Kerja, Otsus Papua dan DOB
5. Tolak RUU Penyiaran, RUU TNI, dan RUU Polri
6. Tarik Militer organik dan non-organik dari Seluruh tanah west Papua.
7. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Negara dan Militer Indonesia kepada Rakyat Papua.
8. Usut tuntas, tangkap, adili dan penjarakan jendral-jendral pelanggar HAM
Buka Akses Jurnalis Nasional dan Internasional seluas-luas-nya di Seluruh West Papua.
9. PBB harus bertanggungjawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses Penentuan nasib sendiri,pelurusan sejarah dan penyelesaian kasus pelanggaran ham di west papua.
10. Segera hentikan operasi militer di nduga, intan jaya, puncak papua, puncak jaya, maybrat, pegunungan bintang, yahukimo, paniai dan seluruh tanah papua.
11. Segera bebaskan Agus Kosay, Beni Murib, 6 orang korban salah tangkap di sorong dan seluruh Tahanan Politik papua lainnya tanpa syarat.
12. Segera hentikan rencana Pengerjaan proyek strategis nasional di merauke, tambrau, raja ampat, dan seluruh tanah papua yang mengorbankan masyarakat adat papua.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan demi merebut cita-cita pembebasan nasional. Atas perhatian dan dukungan seluruh rakyat Indonesia dan West Papua, kami ucapkan terima kasih.
#ANCURKAN_IMPERIALISME
#HAPUSKAN_KOLONIALISME
#LAWAN_MILITERISME INDONESIA
Medan Juang 15 Agustus 2024
Editor” Wenekar karunggu Agi-pro AMP-kk Lombok
@KARUNGGUWENE.COM